Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Eksportir CPO Untung Besar, Benarkah?

        Eksportir CPO Untung Besar, Benarkah? Kredit Foto: Antara/Wahdi Septiawan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Meski pemerintah berkali-kali meminta agar harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit dinaikkan, nyatanya, harga TBS sawit tiga bulan belakangan masih jeblok. Karena itu, muncul pertanyaan, apa sesungguhnya yang terjadi hingga pabrik terkesan bertahan dengan harga yang dia tentukan?

        Demi menjawab hal itu, elaeis.co berkesempatan ngobrol dengan Tolen Ketaren. Lelaki 51 tahun ini merupakan petani kelapa sawit dan juga Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Sawitku Masa Depanku (SAMADE).

        Baca Juga: BPDPKS Promosi Sawit Baik Lewat Seni Ludruk

        "Sebelum kita ngobrol jauh, kita musti paham dulu bahwa dalam proses ekspor itu, memakai istilah Franko Pabrik. Artinya, eksportir membeli barang langsung dari pabrik," dia mengingatkan, mengutip elaeis.co, Senin (8/8/2022).

        Sebelum minyak sawit diekspor, katakanlah minyak sawit itu adalah Crude Palm Oil (CPO). Biaya yang timbul ada dua. Pertama biaya dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) hingga ke refinery dan biaya di refinery hingga kemudian diekspor. 

        Adapun biaya yang muncul dari PKS hingga ke refinery adalah biaya angkut, penyusutan, dan asuransi CPO. Untuk ini, biaya yang musti dikeluarkan adalah Rp300/kilogram CPO. Biaya ini bisa lebih, tergantung pada jarak angkut dari PKS ke refinery.

        Setiba di refinery, biaya yang muncul kemudian adalah biaya sewa tanki, jasa surveyor, dan jasa Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK). Untuk ini butuh pula sekitar Rp200/kilogram CPO. "Kalau biaya pertama ditambahkan dengan biaya kedua, biaya yang timbul sebelum CPO diekspor adalah Rp500 per kilogram CPO," terangnya.

        "Pada proses ekspor, mereka yang punya kontrak ekspor akan dapat harga sesuai harga tender. Namun, mereka yang tak punya ikatan kontrak, harga yang didapat cuma bergantung pada harga yang dibikin refinery. Nah, yang enggak kebagian kontrak langsung ini, biasanya hanya dapat harga Rp500-Rp1.000 di bawah tender," Tolen mengurai.

        Tolen kemudian mengambil contoh harga tender pada tanggal 5 Agustus 2022 sebesar Rp10.400. "Saat tender, kita memakai Freight On Board (FOB) Malaysia, bukan Cost Insurance Freight (CIF) Rotterdam. Lantaran itu, kita pakai harga FOB Malaysia adalah RM4020/ton CPO," katanya.

        Ini berarti, harga per ton CPO adalah 4020xRp3.500= Rp14.070.000. Jika dikonversi ke harga per kilogram menjadi Rp14.070.000:1000= Rp14.070 per kilogram CPO.

        "Harga yang Rp14.070 ini kita kurangi dengan harga tender Rp10.400. Hasilnya Rp3.670. Apakah ini langsung menjadi untung? Enggak. Sebab musti dikurangi lagi dengan biaya Rp500 tadi. Ini berarti menjadi Rp3.670-Rp500= Rp3.170. Apakah ini sudah jadi untung? Belum! Masih harus membayar Bea Keluar (BK) USD288 per ton CPO. Kalau ini dirupiahkan menjadi Rp4.176.000 atau Rp4.176 perkilogram CPO. Itu kalau pakai kurs Rp14.500. Sekarang saja kurs rupiah sudah di angka Rp14.946," Tolen merinci.

        Kalau Rp3.170 tadi dikurangi Rp4.176, eksportir tekor Rp1.006. "Pertanyaan yang kemudian muncul, siapa yang mau mengekspor CPO jika kondisinya kayak begini? Jawabannya, kalaupun ada yang mau ekspor, paling perusahaan yang CPO-nya berasal dari kebun sendiri. Kalau dari kebun sendiri masih untunglah," ujarnya.

        Baca Juga: Tutup Pekan I Agustus 2022, Harga CPO di KPBN Tercatat Naik

        Lantas, kenapa PKS susah mengikuti harga tender? "Begini, tadi saya sudah bilang bahwa PKS yang tak punya kontrak langsung dengan pembeli dari luar, cuma kebagian harga Rp500 di bawah harga tender. Itupun dengan catatan, rendemen CPO-nya musti 20%. Nah, kalau harga tender tadi Rp10.400, PKS hanya kebagian Rp9.900. Kalau CPO-nya punya rendemen 20%, harga TBS yang bisa dibeli hanya Rp1.980," Tolen menghitung.

        Pertanyaan yang kemudian muncul lagi kata Tolen, apakah rendemen kelapa sawit petani 20%? "Dalam kondisi normal saja petani sulit dapat rendemen 20%. Apalagi dalam kondisi tiga bulan terakhir. Sudahlah tak dapat rendemen 20%, TBS masyarakat pun sering antre. Ingat, antre satu malam saja TBS itu, Free Fatty Acid (FFA) atau Asam Lemak Bebas (ALB) TBS-nya sudah naik dari 3% menjadi 5%. Sementara yang dapat harga tender itu hanya FFA 3," ujarnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: