Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa dengan adanya kenaikan tarif bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi merupakan upaya terakhir Pemerintah dalam menjaga perekonomian nasional.
"Seperti yang disampaikan Bapak Presiden Joko Widodo, langkah (menaikkan harga BBM) merupakan upaya terakhir. Karena sebetulnya, kenaikan harga BBM ini sudah mulai terjadi sejak tahun 2021," ungkap Sri Mulyani dalam Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, dipantau secara daring oleh tim Warta Ekonomi, Rabu (7/9/2022).
Baca Juga: ''Jokowi Panik, Kritik Dibungkam'', Diskusi BBM Naik Malah Diganti Jadi Bahas Istri Ferdy Sambo
Sri Mulyani menjelaskan bahwa dalam merancang dan menentukan APBN 2022, pihaknya mengasumsikan harga BBM berada di US$ 63 per barel. Namun, harga melonjak sangat tinggi, terutama sesudah terjadinya perang di Ukraina dan kemudian terjadi sanksi terhadap Rusia yang merupakan produsen sangat signifikan minyak di dunia.
"Nah ini kenaikan dari harga BBM atau Indonesia Crude Price (ICP) meningkat bahkan melambung di atas US$100 (per barel)," ujarnya.
Kenaikan-kenaikan yang jauh di atas asumsi ini, lanjutnya, memang menimbulkan suatu tekanan, dan pilihan kebijakan bagi Pemerintah hanyalah, apakah dari kenaikan harga ICP dunia langsung dibebankan kepada masyarakat atau ditahan oleh Pemerintah.
"Oleh karena itu, pada bulan Juli yang lalu, kita mengajukan kepada DPR dan presiden untuk meminta menaikkan subsidi BBM. Jadi yang tadinya hanya Rp152 triliun, kita naikkan anggarannya menjadi Rp502,4 triliun, itu adalah 3,5 kali lipat dari anggaran awal," jelas Sri Mulyani.
Adapun keputusan tersebut diambil karena Pemerintah tidak ingin rakyat dan perekonomian Indonesia langsung menanggung beban dari kenaikan ICP atau harga minyak dunia yang memang melonjaknya sangat ekstrim.
"Semua dunia, negara-negara Eropa terutama Amerika semuanya mengalami kenaikan harga BBM. Ini pasti memberatkan ekonomi dan masyarakatnya. Maka, pilihan kebijakan setiap negara berbeda-beda," imbuhnya.
Baca Juga: Gak Tangisi Lagi Kenaikan BBM, Pengakuan Anak Buah Megawati: Dulu Beda, Sekarang Sudah Berubah
Untuk Indonesia, bendahara negara tersebut menyampaikan bahwa pihaknya telah mencoba untuk menahan dari kenaikan harga minyak dunia dengan menggunakan anggaran subsidi yang ditambahkan tiga kali lipat dari anggaran awal.
Sejalan dengan itu, Sri Mulyani mengungkapkan, kebetulan Indonesia mendapatkan windfall dari kenaikan harga-harga komoditas sekitar Rp420 triliun, sehingga dapat membantu dalam menahan dari kenaikan harga BBM dunia.
"Kebetulan kita juga memang mendapatkan windfall dari kenaikan harga-harga komoditas, sekitar Rp420 triliun. Jadi semua kenaikan ini, pendapatan yang naik ini kita alokasikan untuk menahan kenaikan harga BBM dunia," ujarnya.
Baca Juga: RUU P2APBN Telah Disahkan DPR, Sri Mulyani Beri Apresiasi
Sementara itu, sebelumnya Pemerintah telah meminta kepada DPR untuk memberikan subsidi Pertalite sebanyak 23 juta kiloliter, dan Solar 15 juta kiloliter, dengan asumsi harga pada waktu itu ialah US$ 100 dolar per barel, dan dengan kurs Rp14.450.
"Gejolak yang terjadi di dunia ini terus-menerus dengan harga yang sangat tinggi, inflasi melonjak, negara-negara maju menaikkan suku bunga secara ekstrim. Sehingga ini kemudian juga meningkatkan kurs kita yang tadinya Rp14.450 menjadi Rp14.800," jelas Sri Mulyani.
Akan tetapi, masyarakat yang sedang aktif pulih dari covid, ekonomi yang mulai pulih menyebabkan volume dari Pertalite diperkirakan akan melonjak mencapai 29 juta kiloliter dari 23 juta kiloliter. Dan solar dari 15 juta kiloliter diperkirakan akan naik menjadi 17 juta kiloliter.
"Nah ini menimbulkan dilema, sesudah kita naikkan 3,5 kali lipat kenaikannya, ini akan jauh lebih tinggi lagi menjadi Rp698 triliun. Jadi seluruh surplus atau tambahan windfall profit yang tadi Rp420 triliun menjadi tidak ada apa-apanya dibandingkan kenaikan yang akan mencapai Rp700 triliun," lanjut bendahara negara.
Sri Mulyani mengklaim bahwa pihaknya, dalam hal ini Pemerintah telah mencari berbagai cara untuk melindungi rakyat. Oleh karena itu, ia melihat, jika seandainya subsidi melonjak menjadi Rp700 triliun atau Rp698 triliun dengan ICP berada di US$105 per barel, dan kurs berada di Rp14.750, dengan volume mencapai 29 juta kiloliter untuk Pertalite dan 17 juta kiloliter untuk Solar. Namun, angka Rp700 triliun itu dinikmati lebih kepada masyarakat yang memiliki ekonomi jauh lebih tinggi.
Baca Juga: Bukan Omong Kosong! Harga BBM Tetap Naik meski Harga Minyak Turun, Sri Mulyani: Kami Terus....
"Sehingga ini menimbulkan suatu pertanyaan bagaimana kita bisa memperbaiki kebijakan di mana masyarakat yang miskin mendapatkan alokasi tapi tentu kelompok menengah atas juga ikut bergotong royong. Ini lah yang kemudian menuju kepada pilihan untuk menyesuaikan harga BBM," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Martyasari Rizky
Editor: Aldi Ginastiar