Tak Tinggal Diam Dikudeta La Nyalla, Pihak Fadel Ungkap Kejanggalan Perebutan Tahta
Kuasa Hukum Fadel Muhammad, Amin Fahrudin, menyebut bahwa terdapat beberapa poin yang menjadi langkah hukum terkait konflik kliennya sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dengan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Nyalla Mattalitti.
Pertama, kata Amin, pemberhentian yang dilakukan La Nyalla terhadap kepemimpinan Fadel sebagai Wakil Ketua MPR melalui Surat Keputusan (SK) DPD No. 2 tahun 2022 dinilai ilegal dan inkonstitusional. Pada poin A dalam SK tersebut, Amin menyebut terdapat diksi yang penuh kejanggalan.
Baca Juga: Diturun Paksa La Nyalla dari Kursi Wakil Ketua MPR, Fadel Muhammad Tempuh Jalur Hukum
"Jadi, ada satu diksi yang digunakan oleh DPD, yaitu kedinamisan kepempimpinan atau dinamisasi kepemimpinan. Apakah dinamisasi kepemimpinan ini sebuah norma yang diatur dalam UU MD 3 maupun dalam aturan turunannya? Yaitu, tatib MPR ataupun tatib DPD yang bisa digunakan sebagai instrumen untuk menarik pimpinan MPR dari unsur DPD," jelas Amin saat konferensi pers, Jumat (9/9/2022).
Dia menilai, diksi dalam SK tersebut memiliki alasan yang memuat maksud politik kepentingan yang sama sekali tidak didasarkan pada alasan hukum yang kuat sebagaimana diatur dalam UU MD 3 dan tata tertib yang berlaku.
Poin kedua, kata Amin, dalam proses menurunkan Fadel Muhammad, DPD menggunakan instrumen mosi tidak percaya. Dia menilai, instrumen tersebut tidak berlaku dalam sistem pemerintahan presidensial.
"Manakala kabinet di tengah jalan mendapat mosi tidak percaya karena ada dinamika politik dan itu mendapatkan dukungan 50%, kabinet itu bisa jatuh, itu diatur dalam sistem parlementer. Tapi kita sebagai penganut sistem pemerintahan presidensil, yang menjadi supremasi itu bukan supremasi keputusan di parlemen, yang jadi supremasi adalah konstitusi atau hukum itu sendiri," jelasnya.
Dengan demikian, Amin menegaskan bahwa Indonesia yang menggunakan sistem presidensial, mekanisme pemberhentian kekuasaan atau impeachment mesti terjadi pelanggaran artikel. Melalui pelanggan tersebut, kata Amin, DPR bisa mengajukan dakwaan kepada mahkamah konstitusi untuk membuktikan kesalahan yang melanggar.
"Baru, kemudian MK ketika menyatakan bersalah dikembalikan kepada MPR untuk mengambil keputusan pelengseran atau pemberhentian presiden atau wapres di sidang istimewa MPR. Inilah analogi yang mustinya kita gunakan dalam mengganti pimpinan MPR, jadi bukan karena alasan interest politik semata. Namun, harus ada satu alasan di luar alasan kepentingan politik," jelasnya.
Dia menyebut, dalam UU MD 3 dan tata tertib MPR dijelaskan tiga hal yang bisa menggantikan posisi pimpinan MPR: pertama meninggal dunia, kedua mengundurkan diri tanpa paksaan, ketiga diberhentikan. Pada poin terakhir, kata Amin, pemberhentian memiliki dua alasan utama: pertama karena keanggotaannya sebagai DPR atau DPD melekat pada jabatan pihak terkait; kedua pada saat pihak tersebut tidak bisa menjalankan tugas secara berkelanjutan.
"Pada posisi ini klien kami tidak berhalangan tetap dan juga masih bisa menjalankan tugas sebagai pimpinan MPR secara berkelanjutan. Jadi, tidak ada alasan untuk mengganti pimpinan MPR di tengah jalan dan apalagi di MD 3 dijelaskan bahwa masa jabatan Wakil Ketua MPR atau masa jabatan pimpinan MPR itu bersifat tetap 5 tahun sama seperti jabatan keanggotaan MPR, keanggotaan DPD, dan DPR," katanya.
Baca Juga: MPR Sepakat Politik Identitas Harus Dihindari Bersama
Amin mengaku bahwa pihaknya telah melakukan gugatan atas dugaan melawan hukum yang dilakukan La Nyalla pada Fadel melalui register sistem elektronik peradilan nomor perkara 518/PDT:G/2022/PNJakartaPusat.
Selain itu, Amin juga menyebut bahwa pihaknya telah melayangkan surat pada pimpinan MPR dan seluruh Wakil Ketua MPR agar proses pergantian Fadel Muhammad diberhentikan sampai ada keputusan hukum yang bersifat inkrah.
Lebih lanjut, Amin menyebut bahwa pihaknya menuntut La Nyalla dalam dua hal, yakni kerugian materiel dan gugatan imateriel. Amin menyebut bahwa gugatan materil dilakukan didasarkan pada hitungan hak keuangan yang diperoleh Fadel sebagai Wakil Ketua MPR dalam kurun waktu 2022-2024, yang jika ditotal itu ada sejumlah Rp998.000.139.00.
"Kami mengajukan juga gugatan imateriel sejumlah Rp200 miliar dan ini ditanggung secara tanggung renteng oleh tergugat satu, yaitu saudara La Nyala Mataliti sejumlah Rp190 miliar, kemudian ditanggung juga oleh tergugat dua sejumlah Rp5 miliar, dan tergugat tiga sejumlah Rp5 miliar," jelasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad mengatakan gugatan yang dia lakukan merupakan bentuk perlawanan melalui proses hukum atas perbuatan La Nyalla. Fadel menyebut bahwa pihaknya telah melaporkan perbuatan tersebut ke pihak Kepolisian dan Badan Kehormatan di DPD.
"Maka untuk itu, saya mengambil langkah membuat perlawanan hukum demi menjaga lembaga tinggi negara saya juga melaporkan beliau ke polisi dengan perbuatan yang tidak menyenangkan dan nama baik saya dan saya juga memproses ke Badan Kehormatan di DPD karena di DPD sendiri ada badan kehormatan yang harus dilewati," katanya.
Baca Juga: Suku Bunga Acuan Jadi 3,75%, Fadel Muhammad Apresiasi BI: Kebijakan Ini Sudah Tepat!
Lebih lanjut, Fadel menyebut bahwa pelaporan yang dia lakukan tidak lain untuk menjaga kehormatan lembaga tinggi negara. Dia juga mengaku bahwa dirinya tidak pernah melapor dan membawa seseorang ke pengadilan maupun kepolisian.
"Belum pernah saya itu membawa orang di pengadilan, membawa ke polisi, belum pernah saya. Selalu saya maafkan. Saya didemo, dilempari batu. Tapi kali ini saya mohon maaf, saya betul-betul bekerja keras karena ini masalah fundamental. Karena ini masalah hukum di negeri kita. Demi menjaga kehormatan lembaga tinggi negara," katanya.
Sebagaimana diketahui, pada sidang paripurna 15 Agustus 2022 lalu, Fadel Muhammad dinyatakan diberhentikan dari jabatannya di MPR. Pihak Fadel menilai bahwa pemberhentiannya dalam sidang merupakan agenda penyelundupan sidang untuk menarik Fadel dari jabatan wakil ketua MPR.
Pada tanggal 18 Agustus lalu, diputuskan mosi tidak percaya dan juga sekaligus voting untuk pemilihan pengganti Fadel Muhammad dalam sidang paripurna. Pihak Fadel yang tidak terima menyebut bahwa mekanisme tatib DPD itu harus menggunakan prosedur pemanggilan yang dilakukan badan kehormatan.
Pihak Fadel menyebut bahwa Fadel sama sekali belum pernah melakukan dan menerima panggilan dari badan kehormatan. Sementara, panggilan badan kehormatan memiliki mekanisme, yakni melalui pengaduan yang kemudian ditindaklanjuti dengan pemeriksaan hingga penjatuhan sanksi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: