Kepercayaan Pelanggan Jadi Kunci Sukses Pemasaran Digital dalam Menyikapi Pemblokiran Cookies
Selama ini para pemasar begitu mengandalkan cookies dari pihak ketiga untuk dapat menyasar target konsumen secara akurat, mendapatkan masukan tentang preferensi dan perilaku konsumen, serta menayangkan iklan yang telah dibuat personal.
Namun justru semakin lama pula mereka kehilangan kemampuan untuk menyasar konsumen baru dan menaikkan jumlah data pelanggan. Saat ini, fokusnya mesti diubah yaitu untuk menarik audien yang menjadi target dan membangun hubungan saling percaya dengan mereka.
Meskipun beberapa peramban (browser) telah memblokir cookie dari pihak ketiga untuk beberapa waktu, tetap saja mengejutkan saat Google mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menghentikannya secara total pada Januari 2020. Langkah tersebut diikuti oleh Apple yang pada Maret tahun yang sama memblokir cookie sejenis di peramban Safari di seting awalnya. Firefox juga memblokir cookies, dan Microsoft's Edge juga mulai melakukan pemblokiran secara bertahap. Artinya semua peramban utama saat ini memblokir atau berencana memblokir cookie dari pihak ketiga.
Baca Juga: Perluas Pasar, Pelaku UMKM Ikuti Pelatihan Pemasaran Digital
Para perusahaan peramban yang merupakan para pemain penting di dunia daring tersebut memutuskan untuk melakukan hal ini dikarenakan. Dalam sebuah tulisan di blog yang mengumumkan langkah tersebut, Google mengatakan, “Tujuan kami untuk inisiatif open source ini adalah menjadikan web menjadi lebih privat dan aman bagi pengguna, sekaligus untuk mendukung para publisher.”
Namun mengingat bahwa memblokir cookie pihak ketiga berarti mengorbankan sebagian pendapatan iklan, mungkin langkah tersebut tidak sepenuhnya tanpa tujuan dan tanpa kepentingan.
Menurut Andreas Heiz, Direktur solusi intelijen pelanggan SAS, pemblokiran itu dilakukan karena banyaknya komplian dari pengguna yang menjadikan perusahaan penyedia aplikasi peramban mengambil inisiatif untuk melakukan pemblokiran.
“Salah satu alasan pemblokiran itu bisa jadi karena persepsi para pengguna. Mayoritas dari mereka menganggap cookie menjengkelkan dan mengganggu. Mereka akan mengatakan tidak ingin dilacak di seluruh situs web yang mereka kunjungi – namun faktanya relatif sedikit pengguna yang secara aktif memilih untuk tidak menggunakan pengaturan awal (default)” terang Heiz.
Pendorong utama pemblokiran cookies dari perisahaan peramban yang lebih signifikan adalah pertumbuhan regulasi seputar privasi data. GDPR Eropa memang tidak secara eksplisit melarangnya, tetapi peraturannya menyatakan bahwa situs web tidak dapat menyimpan cookie pihak ketiga tanpa persetujuan penggunanya. Jika pengguna menolak persetujuan, maka situs itu harus memblokirnya. Faktanya, situs tidak dapat memuat bahasa program (script) cookiesebelum menerima persetujuan. Pendekatan kompleks ini menempatkan perusahaan peramban memegang tanggung jawab untuk memeriksa kepatuhan para publisher. Dan lebih mudah bagi mereka untuk menghindari kemungkinan masalah dengan memblokir cookie pihak ketiga sekaligus.
Baca Juga: Sambut World Data Privacy, VIDA Tegaskan Pentingnya Tingkatkan Digital Trust pada Gen Z
Para pembuat kebijakan di tempat lain di dunia juga biasanya mengikuti ketentuan GDPR, meskipun Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi Singapura (PDPA) sebenarnya mendahuluinya, disahkan pada tahun 2012. PDPA mengakui kebutuhan untuk melindungi data pribadi individu dan kebutuhan organisasi untuk mengumpulkan, menggunakan, atau mengungkapkan data pribadi untuk tujuan yang sah dan wajar.
Di Malaysia, Undang-Undang untuk Perlindungan Data Pribadi mulai berlaku pada tahun 2013 lalu. Undang-undang ini menyasar pada persetujuan pengguna akhir, yang mengharuskan situs web untuk mendapatkan persetujuan terle bih dahulu dan secara eksplisit dari pengunjung sebelum mengaktifkan cookie dan pelacak apa pun yang memproses data pribadi.
Heiz juga menambahkan, alasan ketiga mengapa perusahaan peramban melakukan pemblokiran, meskipun terlihat agak memaksa, Google contohnya, untuk memblokir cookie pada pihak ketiga adalah kekuatan cookie pihak pertama yang mereka miliki. Pada tahun 2021, Google menyumbang sekitar 28,6 persen dari total pendapatan iklan digital yang dihasilkan di Amerika Serikat dan merupakan penghasil iklan digital terbesar di negara tersebut. Setelah Google, urutan berikutnya adalah Facebook dan Amazon, masing-masing dengan 23,8 dan 11,3 persen. Jaringan informasi pihak pertama yang dikendalikan oleh situs-situs ini luar biasa, dan mendominasi pasar ponsel cerdas berbasis Android sebesar 85% serta 64% pasar peramban (browser)melalui peramban Chrome.
Jadi bagaimana cara perusahaan mempertahankan strategi berbasis data yang sangat penting untuk operasi mereka, dalam menghadapi hilangnya cookie, meningkatnya peraturan privasi, dan inisiatif privasi yang diluncurkan oleh para pemain besar teknologi? Yang terakhir ini termasuk Laporan Privasi Aplikasi Apple, yang memungkinkan pengguna melacak semua yang dilakukan aplikasi, dan jenis data apa yang telah diaksesnya.
Heiz memberikan beberapa pilihan Langkah untuk menyikapi kebijakan pemblokiran dari pihak pertama. Menurutnya alih-alih berfokus pada pengurangan biaya akuisisi data, yang penting bagi pemasar adalah mengembangkan strategi data pihak pertama.
“Meningkatkan manajemen identitas, dan memanfaatkan data yang mereka miliki dengan memberikan manfaat serta nilai nyata kepada pelanggan sehingga melalui personalisasi dalam interaksi yang dilakukan, yang pada akhirnya membuat pelanggan bersedia memberikan informasi secara sukarela. Memahami pelanggan Anda dan adanya pilihan untuk terlibat secara sungguh-sungguh dengan mereka dapat membantu menciptakan pengalaman yang membangun loyalitas” Heiz menambahkan.
Data pelanggan tumbuh lebih berharga setiap menitnya. Pemasar harus cerdas dan mengembangkan strategi unik untuk mendorong pelanggan berpartisipasi dalam dialog dua arah dan ikut serta dalam pengumpulan data dan analitik. Satu-satunya cara untuk dapat mencapai hal tersebut adalah dengan mengoptimalkan perjalanan pelanggan, bertemu mereka secara langsung melalui komunikasi dan konten yang memberikan manfaat nyata.
Baca Juga: Prediksi 2023: Perdebatan tentang Penguasaan Data Akan Makin Intens
Kunci untuk dapat mencapainya adalah "kepercayaan". Perusahaan biasanya lebih didorong oleh keuntungan komersial daripada kekhawatiran tentang privasi data konsumen, tetapi meluasnya pengaturan privasi membuat mereka tidak akan punya pilihan selain mengadopsi strategi yang lebih melindungi kesejahteraan data konsumen.
Salah satu cara untuk mendapatkan kembali kepercayaan adalah dengan bersikap transparan tentang data apa yang dikumpulkan dan bagaimana data itu digunakan. Setidaknya para pemasar harus mengajukan pertanyaan tertentu seperti, “Apakah seseorang mengetahui kapan data dikumpulkan? Apakah mereka memahami cara penggunaannya, terutama ketika algoritma AI atau ML (di mana parameter keputusannya kurang transparan) membuat keputusan? Bisakah mereka dengan mudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan terkait data mereka? Apakah mudah bagi seseorang untuk memilih keluar?”
Persetujuan juga merupakan elemen penting dari kepercayaan. Sudah menjadi pemahaman bersama secara luas bahwa perusahaan harus meminta izin untuk berkomunikasi dengan pelanggan mereka – pendekatan ini disebut “pemasaran berbasis izin.” Sebagian besar undang-undang privasi menetapkan, dengan menggunakan definisi GDPR, bahwa persetujuan harus 'diberikan secara bebas, spesifik, terinformasi, tidak ambigu', dan diartikulasikan dengan 'tindakan afirmatif yang jelas'.
Platform Data Pelanggan (CDP) dapat membantu para pemasar memperkuat profil konsumen, menarik data baik secara daring maupun luring, mendeteksi peristiwa digital, dan membarui identitas secara dinamis dan langsung. Semua ini membantu membuat komunikasi yang personal dan memberikan nilai nyata kepada konsumen.
Sangatlah penting bagi para pemasar untuk tidak mengambil langkah cerdas dan cepat yaitu hanya mengganti cookiepihak ketiga dengan opsi pelacakan alternatif. Kecenderungan pada privasi data konsumen yang lebih besar ke depan tidak dapat dihentikan lagi, sehingga apa pun potensi pelanggaran terhadap kegiatan pemasaran berbasis data akan mendatangkan konsekuensi hukum.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: