Minyak dan gas bumi masih menjadi pilihan utama dalam menjaga ketahanan energi nasional, khususnya pada era transisi energi dari energi berbahan fosil menjadi energi baru dan terbarukan.
Penerapan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Storage and Utilization (CCUS) menjadi solusi penting untuk meningkatkan produksi migas nasional sekaligus mencapai target penurunan emisi karbon. Namun, penerapan teknologi baru tersebut membutuhkan investasi yang tidak sedikit.
Baca Juga: KLHK dan KKP Bersinergi, Tekankan Pentingnya Kolaborasi Guna Bangun Ekosistem Karbon Biru
Hal ini disampaikan Mulyanto, anggota Komisi VII DPR-RI. Menurut dia, pengembangan teknologi CCS/CCUS untuk kegiatan produksi migas membutuhkan biaya besar karena peralatan yang diperlukan untuk implementasi masih harus impor.
"Karena itu, perlu dukungan dan kemudahan atau fasilitasi dari pemerintah. (Insentif) Itu perlu diberikan kepada investor," ujarnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan pemerintah dapat mengkaji seluruh opsi yang ada yang paling tepat dan efisien dengan mempertimbangkan semua faktor.
"Tentu ini semua mempertimbangan kondisi industri migas yang produksinya saat ini sudah turun," ujar dia.
Berdasarkan data SKK Migas, hingga akhir 2022 lifting minyak tercatat 612,3 MBOPD atau 87,1% dari target yang ditetapkan yaitu sebesar 703 MBOPD. Capaian lifting minyak ini lebih rendah dari realisasi pada 2021 sebesar 660,3 MBOPD.
Adapun, gas bumi, realisasi salur gas pada akhir 2022 tercatat sebesar 5.347 MMSCFD atau 92,2% dari target yang ditetapkan yaitu 5.800 MMSCFD. Seperti halnya minyak bumi, capaian gas bumi pada 2022 pun berada di bawah realisasi 2021 sebesar 5.505 MMSCFD.
Namun, berbeda dengan realisasi investasi, pada akhir 2022, realisasi investasi hulu migas tercatat sebesar US$12,3 miliar atau 93% dari target US$13,2 miliar. Nilai realisasi tersebut lebih tinggi daripada realisasi 2021 yang tercatat sebesar US$10,9 miliar.
Secara terpisah, Benny Lubiantara, Deputi Eksplorasi, Pengembangan dan Manajemen Wilayah Kerja SKK Migas, mengakui bahwa CCS/CCUS saat ini merupakan bagian penting dari operasi hulu migas agar sektor ini dapat memainkan perannya yang signifikan selama era transisi energi.
Kegiatan produksi migas saat ini dan di masa mendatang perlu dilakukan secara lebih bersih dan tepat kepada lingkungan mengingat tidak adanya jaminan bahwa transisi energi di suatu negara akan berlangsung dengan mulus.
Baca Juga: Targetkan Penurunan Emisi, Pemerintah Seriusi Kelola Potensi Karbon Biru
"Industri hulu migas berperan sebagai penyangga ketika ternyata perjalanan menuju net zero emission (NZE) tidak semulus yang diperkirakan," ungkapnya.
Inisiatif menerapkan CCS/CCUS, lanjut Benny, merupakan upaya pelaku sektor hulu migas untuk dapat mengurangi emisi karbon yang ada. Dia mengakui, CCUS akan lebih menarik karena ada faktor "Utilization" yang artinya berdampak terhadap adanya peningkatan recovery factor dari reservoir migas yang diinjeksikan CO2. Namun masalahnya tidak semua reservoir migas yang ada dapat ditingkatkan recovery factor-nya, sehingga tidak semua proyek dapat berupa CCUS.
"Ke depan, dengan adanya deklarasi NZE oleh hampir semua perusahaan migas di dunia, implementasi CCS/CCUS menjadi suatu keharusan dalam proyek pengembangan lapangan migas. Semua PoD (Planning of Development) dipastikan memasukkan inisiatif ini dalam lingkup pekerjaan yang ada," ujarnya.
Benny menegaskan, bagi pelaku sektor hulu migas, hal yang mendesak saat ini adalah diberikannya kepastian pengakuan bahwa kegiatan CCS/CCUS termasuk dalam bagian dari kegiatan industri hulu migas. Hal ini penting guna memastikan biaya yang dibutuhkan untuk implementasi CCS/CCUS dapat dibebankan ke dalam biaya operasi migas.
Baca Juga: Perdagangan Karbon PLTU Dimulai, ESDM Optimis Akan Pangkas Emisi hingga 500 Ribu Ton!
Namun, dia mengingatkan agar investor jangan hanya melihat CCS/CCUS dari aspek tambahan biaya semata karena hal tersebut tidak mencerminkan gambaran keekonomian proyek secara menyeluruh.
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), emisi karbon yang bersumber dari sektor migas mencapai sekitar 44 juta ton CO2e pada 2030, sebagai imbas peningkatan produksi migas nasional sesuai target 1 MBOPD minyak bumi dan dan 12 BSCFD gas bumi. Adapun, hingga 2060, total emisi dari sektor migas diperkirakan mencapai 1.149 juta ton CO2e, yaitu terdiri dari 659 juta ton CO2e sektor hulu dan 490 juta ton CO2e sektor hilir.
Saat ini, Kementerian ESDM sedang menyusun peraturan terkait implementasi CCS/CCUS dan merekomendasikan kepada Kementerian terkait lainnya agar KKKS mendapatkan insentif mengingat investasi CCS/CCUS masih sangat mahal. Sebagai contoh, investasi CCS/CCUS pada proyek LNG Abadi di Blok Masela diketahui mencapai USD 1,2–1,4 juta. Pada tahap awal, CCUS baru diterapkan pada tiga proyek migas lain yakni Lapangan Gundih, Sukowati, dan Tangguh.
Menurut Benny, ketika menghitung keekonomian suatu proyek investor hendaknya tidak hanya melihat pada faktor biaya saja sebab diyakini ada keuntungan kompetitif dari implementasi CCS/CCUS tersebut dan berdampak pada keekonomian proyek.
"Ini kita baru bicara keekonomian, belum bicara benefit yang bersifat lebih jangka panjang, yaitu upaya penurunan emisi karbon global. Tentu saja nantinya akan dilihat detail proyeknya. Bisa saja dibutuhkan tambahan insentif, tapi bisa juga tidak. Kita lihat case-by-case, yang penting jangan kebanyakan diskusi, nanti kita ketinggalan kereta," ungkap Benny.
Pendapat senada juga disampaikan Tumbur Perlindungan, praktisi hulu migas yang menjadi pimpinan sebuah perusahaan migas di Indonesia. Menurut dia, tantangan industri hulu migas ke depan adalah bagaimana perusahaan dapat melakukan eksplorasi dan produksi dengan baik dengan tetap menjalankan operasi sesuai dengan target penurunan emisi karbon.
Perusahaan perlu mencari teknologi-teknologi atau prosedur-prosedur yang dapat meningkatkan produksi guna membantu mengatasi ancaman krisis energi pasca pandemi. Oleh karena itu, dukungan pemerintah seperti carbon tax dalam rangka implementasi CCS/CCUS menjadi dirasakan penting.
"CCS/CCUS memang harus segera dilaksanakan baik dalam pilot project maupun implementasinya," katanya.
Baca Juga: 227 Proyek Emisi Karbon Dibiayai Jepang, Indonesia Dapat Paling Banyak!
Menurut dia, CCS/CCUS merupakan teknologi baru dan cukup mahal. Oleh karena itu, teknologi tersebut hanya bisa diterapkan jika adanya penambahan produksi dari suatu lapangan migas yang ada. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan Enhanced Oil Recovery (EOR).
"CCS/CCUS sangat memungkinkan dilaksanakan karena dapat digunakan untuk EOR ataupun hanya sebagai storage karena kondisi geologi yang ada. Carbon tax yang menarik juga harus segera ditentukan agar bisa segera dilakukan economic analysis dalam implementasinya. CO2 tidak bisa dihilangkan namun dapat di simpan dan sampai saat ini penyimpanan hanya dapat dilakukan pada reservoir jauh di bawah permukaan bumi," jelas Tumbur.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: