Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        CENTRIS Sebut ada Gerakan Oknum Muslim Uighur jadi Mata-mata

        CENTRIS Sebut ada Gerakan Oknum Muslim Uighur jadi Mata-mata Kredit Foto: Antara/Novrian Arbi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Facebook beberapa waktu lalu mengumumkan peretas Cina yang menggunakan akun palsu untuk membobol informasi pribadi aktivis Uighur, jurnalis, dan orang-orang Uighur diluar China yang dianggap pembelot.

        Sedikitnya 500 akun muslim Uighur yang sekarang tinggal di Australia, Kanada, Kazakhstan, Suriah, Turki, dan Amerika Serikat (AS), di informasikan telah di awasi oleh peretas China.

        Uighur adalah kelompok minoritas muslim dari Cina barat laut, dan berdasarkan penelusuran kelompok HAM dan media massa internasional, diketahui lebih dari 1 juta orang Uighur diperkirakan ditahan di jaringan luas kamp "edukasi ulang".

        Sementara segelintir muslim Uighur yang tidak tahan dengan serangkain penyiksaan Beijing yang disebut pemerintah Amerika Serikat menjurus pada genosida, memilih keluar dari China dan tinggal dibeberapa negara Asia, Barat atau Eropa.

        "Kelompok ini menggunakan berbagai taktik spionase dunia maya untuk mengidentifikasi targetnya dan menginfeksi perangkat mereka dengan malware untuk memungkinkan pengintaian," kata unit spionase dunia maya Facebook.

        Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menghimbau negara-negara dunia untuk senantiasa mewaspadai tindakan spionase China, dan tidak ikut-ikutan dalam aksi mata-mata ilegal Beijing yang jelas melanggar HAM tersebut.

        Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan China bahkan menggerakkan oknum muslim Uighur yang mereka kuasai, untuk memata-matai saudaranya sesama Uighur yang tinggal atau berada di luar negeri.

        “Dari informasi yang kami lihat di Radio Free Asia (RFA), sudah ada kejadian oknum muslim Uighur yang diperintah memata-matai orang-orang Uighur yang berada di Turki,” kata AB Solissa kepada wartawan, Kamis, (9/2/2023).

        Dari laporan RFA, lanjut AB Solissa, diketahui jika seorang warga Uighur yang menjadi mata-mata China, tertangkap tangan oleh pria Uighur bernama Yasinjan yang pindah dan berprofesi sebagai tukang cukur rambut di Istambul Turki.  

        Saat di introgasi, mata-mara tersebut akhirnya mengaku jika petugas polisi China di Hotan yang berada di daerah otonomi Uighur Xinjiang, telah mengirim pesan kepadanya, memintanya untuk mengawasi Yasinjan dan warga Uighur lainnya di Istanbul dan sudah mengirim semua rekaman video serta catatannya ke polisi China.

        Pendekatan keras China terhadap orang-orang Uighur di Turki, telah membuat hubungan bilateral antar kedua negara memanas.

        Meski tidak dapat melindungi seluruh orang-orang Uighur di negerinya, Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu memastikan tidak akan memenuhi permintaan Beijing untuk mengekstradisi orang Uighur yang telah menjadi warga negara Turki, kembali ke Tiongkok.

        Karena memiliki ikatan budaya dan bahasa yang sama, Turki menjadi rumah bagi populasi emigran Uighur terbesar di luar Asia Tengah, sehingga negara tersebut kini menjadi fokus spionase China.

        “Kami juga memperoleh laporan tahun 2021 dari Proyek Hak Asasi Manusia Uighur dan Masyarakat Oxus, yang mendokumentasikan 5.530 contoh peringatan, ancaman, dan permintaan penangkapan yang ditujukan kepada warga Uighur di luar negeri, di 22 negara berbeda, selama 19 tahun,” tutur AB Solissa.

        Sementara itu, Ditektur Asosiasi Divisi Asia Human Rights Watch, Maya Wang menyebut para pejabat China menganggap orang-orang Uighur di pengasingan sebagai orang-orang yang perlu mereka awasi,

        “Tujuan China memperketat kontrol dan pengawasan serta represi terhadap setiap orang yang berasal dari komunitas Uighur, tak lain untuk menimbulkan rasa takut, kepatuhan dan kesetiaan kepada pemerintah China, bahkan ketika mereka berada di luar negeri.” Pungkas Direktur Asosiasi Divisi Asia Human Rights Watch, Maya Wang.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Ferry Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: