Grant Thornton Indonesia Ungkap Jenis Kejahatan Siber yang Paling Umum Ditemukan di Indonesia
Memasuki era modern, perkembangan digital mengalami kemajuan yang begitu pesat. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh pandemi COVID-19 yang juga mengakibatkan pola dan gaya hidup masyarakat berubah.
Namun, perkembangan digital juga memberikan tantangan dan risiko yang menyertainya, salah satunya adalah serangan siber.
Baca Juga: Ancaman Keamanan Siber, dari Rekam Jejak Digital yang Ditinggalkan di Media Sosial
Dikutip dari data di e-MP Robinopsnal Bareskrim Polri, menunjukkan tindak pidana kejahatan siber naik signifikan hingga 14 kali pada 2022 bila dibandingkan dengan periode yang sama di 2021.
Grant Thornton mengungkapkan terdapat tiga jenis kejahatan siber yang sedang marak terjadi di Indonesia. Salah satu yang banyak ditemukan adalah serangan ransomware dengan modus meminta tebusan kepada individu ataupun organisasi dengan cara melakukan enkripsi terhadap data dan informasi sehingga data dan informasi tersebut tidak dapat digunakan sepenuhnya.
Goutama Bachtiar, IT Advisory Director Grant Thornton Indonesia, menyebutkan serangan malware (malicious software) kerap menyebar melalui lampiran email atau unduhan yang terlihat legal.
Salah satu jenis malware yang semakin nyata adalah extortionware selain ransomware di mana serangan tersebut dilakukan dengan meminta uang tebusan dalam sejumlah nilai tertentu atau data akan disebarluaskan ke pihak publik.
Kedua jenis ancaman ini telah menjadi bisnis (Ransomware as a Service) sehingga akan meningkatkan kemungkinan/probabilitas terjadinya ancaman ini di masa yang akan datang.
Ditambah lagi dengan fenomena semakin maraknya kelompok/sindikat peretas. Para pelaku tidak lagi bekerja sendiri, namun bekerja sama yaitu dengan cara membentuk grup, sindikat, atau pun kelompok. Terorganisir dan terencana rapih.
Grant Thornton menambahkan serangan ini umumnya banyak menimpa industri layanan keuangan dan perbankan, namun selama tiga tahun terakhir serangan ini mulai banyak menimpa perusahaan di luar industri tersebut, yakni manufaktur, trading, bahkan rumah sakit.
Di sisi lain, defacing merupakan metode peretasan terbanyak yang menyasar lembaga pemerintahan. Serangan itu bertujuan untuk mengubah landing page, halaman atau pun konten situs web.
Baca Juga: Ancaman Kejahatan Siber Makin Tinggi, Pelajar Perlu Belajar Keamanan Digital
Website defacement memberikan dampak negatif terhadap reputasi institusi karena lalai/gagal dalam menjaga keamanan aset mereka, bahkan di beberapa kasus peretas juga meninggalkan pesan keliru/negatif seperti layanan mereka telah ditutup di mana berdampak turunnya kredibilitas di hadapan masyarakat umum.
"Jenis ancaman siber selanjutnya adalah Denial-of-Service (DoS), yakni risiko yang menimpa institusi yang dilakukan dengan cara mengirimkan paket data dalam jumlah besar secara terus menerus agar sistem tersebut menjadi overutilized sehingga tidak dapat diakses," ungkap Goutama Bachtiar.
Meskipun serangan DoS tidak mengakibatkan kebocoran maupun hilangnya data dan informasi penting, namun risiko operasional meningkat karena daya upaya, waktu dan dana yang diperlukan untuk menangani hal tersebut ditambah lagi dengan risiko bisnis yakni hilangnya potensi penjualan/pendapatan dikarenakan sistem sedang down akibat terkena serangan.
Grant Thornton pun melihat tahun ini para peretas semakin agresif melakukan serangan siber bahkan lebih terstruktur dan lebih canggih, menargetkan perusahaan besar maupun pemerintah, dengan modus operandi ransomware.
Baca Juga: Grant Thornton Jabarkan Dampak Positif Pembangunan 13 Tol bagi Ekonomi Indonesia
Di tahun 2022, Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak di Asia Tenggara yang mengalami serangan jenis ini. Laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menyebutkan, di tahun yang sama, 50% insiden serangan siber di Indonesia adalah ransomware dan pembobolan.
Goutama Bachtiar mengatakan lebih lanjut, insiden serangan siber terhadap salah satu bank terbesar di Indonesia beberapa waktu lalu memiliki dampak signifikan. Bagi bank, dampaknya jelas. Reputasi/kredibilitas menurun di mata publik.
Bagi nasabah dan non-nasabah, individu maupun institusi, selain mengalami kerugian khususnya non-material, adalah turunnya ataupun hilangnya tingkat kepercayaan mereka terhadap kemampuan pihak bank dalam menjaga keamanan data.
Di sisi lain, sebagaimana diketahui, bisnis keuangan adalah bisnis berbasis kepercayaan. Di sisi lain, Bank Sentral terus mendorong implementasi Gerakan Nasional Non Tunai, spesifiknya dengan cetak biru Sistem Pembayaran Indonesia 2025, di mana salah satu visinya mendukung digitalisasi perbankan sebagai lembaga utama dalam ekonomi-keuangan digital, baik melalui open-banking maupun pemanfaatan teknologi digital dan data dalam bisnis keuangan.
Pemerintah melalui Bappenas juga terus mendorong transformasi digital sebagai inti transformasi ekonomi Indonesia. Ditambah lagi dengan data World Bank bahwa sekitar 40% warga negara Indonesia belum memiliki rekening bank (unbanked).
Ada beberapa tindakan preventif yang dapat dilakukan untuk meminimalisir risiko ransomware ini. Selalui perbaharui piranti lunak dan aplikasi dengan pembaharuan terkini.
Lakukan backup terhadap data kritikal secara berkala dan berkesinambungan. Gunakan port 3389 (Remote Desktop Protocol) and 445 (Server Message Block) seminimal mungkin, apabila tidak perlu, maka tutuplah kedua port tersebut.
Baca Juga: Grant Thornton Indonesia Jabarkan Pentingnya Ketahanan Siber bagi Organisasi
Tingkatkan kesadaran pegawai dengan program/kampanye berbasis aktivitas/simulasi, tidak hanya pendekatan teoritis belaka khususnya terhadap tautan/email mencurigakan, tautan mengunduh, dan lampiran pada email.
"Gunakan piranti lunak anti-malware. Terakhir, lakukan hardening terhadap komputasi di sisi pengguna akhir (end-user computing)," tutup Goutama.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ayu Almas
Tag Terkait: