Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae mengungkap sejumlah kinerja positif industri BPR dan BPRS (Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah) di awal tahun 2024.
Hingga Maret 2024, kata Dian, tercatat sebanyak 1.362 BPR dan 174 BPRS. Secara umum, dia juga mencatat kinerja positif dan pertumbuhan industri BPR-BPRS secara berkelanjutan.
Baca Juga: OJK Resmi Luncurkan Roadmap Penguatan BPR-BPRS
Dia mengungkap, total aset industri BPR-BPRS tumbuh sebesar 7,34% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi senilai Rp216,73 triliun.
Sementara pertumbuhan penyeluruhan kredit dan pembiayaan sebesar 9,42% yoy menjadi senilai Rp161,90 triliun. Di sisi penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), kata Dian, mengalami pertumbuhan sebesar 8,60% yoy menjadi senilai Rp158,80 triliun.
"Kemudian dari aspek permodalan, profitabilitas dan stabilitas BPR dan BPRS ini memiliki rasio keuangan yang relatif terjaga antara lain tercermin dari rasio CAR (Capital Adequacy Ratio) yang menunjukkan ketahanan yang baik dan mampu menopangkan risiko kredit atau pembiayaan yang setelah menunjukkan tren meningkat pada saat ini," kata Dian dalam acara peluncurkan Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR-BPRS 2024-2027 (RP2B) di Hotel Raffles, Jakarta, Senin (20/5/2024).
Tiga Tantangan Industri BPR-BPRS
Meski menunjukkan kinerja positif, Dian mengungkap terdapat tiga tantangan serius terkait struktural BPR-BPRS. Pertama, kata dia, terkait dengan permodalan.
Dian menyebut, dominasi industri BPR-BPRS di sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) memerlukan pemenuhan permodalan. BPR-BPRS, kata dia, perlu memenuhi permodalan minimum sebesar Rp6 miliar.
Baca Juga: Sejajar dengan BCA dan BRI, Hasnur Raih Penghargaan The Best 6 Investortrust Companies 2024
"Kewajiban pemenuhan modal inti minimum BPR-BPRS sebesar Rp6 miliar pada akhir tahun Desember 2024 bagi BPR, dan 31 Desember 2025 bagi BPRS," jelasnya.
Tantangan kedua, kata Dian, berkaitan dengan tata kelola dan manajemen risiko. Menurutnya, kualitas sumber daya manusia (SDM) perlu dioptimalkan untuk memanajemen risiko yang efektif.
"Dibutuhkan penerapan tata keola yang baik dan manajemen risiko yang efektif untuk meningkatkan kerja industri BPR dan BPRS," ungkapnya.
Baca Juga: Perkuat Kelembagaan BPR dan BPRS, OJK Terbitkan POJK Nomor 7 Tahun 2024
Tantangan ketiga muncul dari sisi persaingan usaha. Dian menuturkan, industri BPR-BPRS akan menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan lembaga keuangan lain, khususnya di segmen UMKM dari hulu sampai kilir.
"Terlebih lagi dengan masifnya perkembangan teknologi informasi atau IT yang mendorong inovasi produk dan layanan keuangan juga menjadi persaingan yang cukup berat bagi industri BPR dan BPRS," ungkapnya.
Apa Solusi OJK?
Memperhatikan tantangan yang dihadapi yang ada, Dian menyebut, RP2B 2024-2027 menjadi landasan kebijakan untuk memperkuat dan mengembangkan industri BPR dan BPRS.
Dian menuturkan, RP2B disusun adalah inisiatif sekaligus action plan pengembangan industri BPR-BPRS. Di dalamnya, kata dia, memuat visi BPR-BPRS yang berintegritas, tangguh, dan kontributif dalam memberikan akses keuangan bagi UMKM.
"Visi RP2B 2024-2027 yaitu memwujudkan BPR dan BPRS menjadi part yang berintegritas, tangguh, dan kontributif dalam memberikan akses keuangan kepada usaha kecil dan masyarakat di wilayahnya," jelasnya.
Adapun arah kebijakan dalam RP2B, kata Dian, fokus pada tiga aspek utama, yakni permodalan, akselerasi konsolidasi, dan pengembangan tata kelola industri BPR-BPRS.
Baca Juga: OJK Perkuat Sinergi Dorong Pengembangan di Sektor ITSK
"Permodalan yang kuat akan mendorong kesedian infrastruktur yang memadai, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas penyaluran kredit atau pembiayaan, serta mendukung inovasi produk dan layanan," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Aldi Ginastiar