- Home
- /
- EkBis
- /
- Agribisnis
Beragam Kampanye Hitam Sawit, Pekerja Bawah Umur hingga Tidak Ramah Gender
Beberapa isu yang dijadikan kampanye hitam untuk sawit yang menjadi sorotan publik salah satunya adalah perihal isu pekerja kebun sawit. Isu hitam yang dihembuskan adalah perkebunan sawit mempekerjakan pekerja anak.
Menurut laporan PASPI (Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute), tuduhan yang dihembuskan oleh NGO (Non Goverment Organization) yang menyebut jika perkebunan sawit mempekerjakan anak-anak di bawah usia 18 tahun berdasarkan dari foto anak-anak yang sedang berada di kebun sawit.
Baca Juga: BPDPKS Diminta Jokowi Urus Kakao dan Kelapa, Tak Hanya Sawit
“Tuduhan dengan foto tersebut bukan hanya tidak masuk akal. Tetapi juga mengeksploitasi anak-anak demi pembenaran tujuan NGO itu sendiri. tuduhan NGO sungguh melecehkan anak-anak di Indonesia, terutama orang tuanya,” tulis PASPI, dikutip Warta Ekonomi, Kamis (11/7/2024).
Larangan mempekerjakan pekerja anak sebenarnya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia. Selain kebijakan, secara teknis pekerjaan di perkebunan sawit menurut PASPI juga hampir tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh anak-anak.
“Kehadiran anak-anak pada suatu tempat belum tentu menunjukkan keterlibatannya pada kegiatan di tempat yang bersangkutan,” sebut PASPI.
PASPI menjelaskan bahwa hubungan antara anggota keluarga termasuk anak-anak di kawasan pedesaan sangat kuat. Keikutsertaan anak-anak di ladang atau sawah bersama orang tuanya hanya merupakan bentuk dari edukasi dan sosialisasi bagi anak-anak.
Tindakan orang tua yang membawa anak-anaknya ke sawah atau ladang hanya dijadikan mekanisme edukasi semata dan bukannya eksploitasi untuk pekerja. Hal ini dibuktikan dengan anak-anak yang biasanya merasa gembira bahkan bermain-main bersama orang tuanya di sawah tersebut.
PASPI juga menjelaskan bahwa pekerjaan di perkebunan sawit sangat tidak cocok untuk anak-anak. Pasalnya, pekerjaan yang mencakup memanen, menyiangi, menyemprot, dan mengangkat tandan buah segar (TBS) merupakan pekerjaan yang perlu pelatihan serta kekuatan fisik yang cukup prima.
“Untuk pekerjaan pemanenan TBS misalnya dengan berat TBS per tandan sekitar 25-50 kilogram per TBS dengan permukaan buah yang berduri, tidak memungkinkan pekerjaan tersebut dilakukan oleh anak-anak,” tulis PASPI.
Sawit Ramah Anak
Sejatinya isu pekerja anak telah menjadi perhatian sejak lama bagi perusahaan perkebunan sawit di Indonesia. Asosiasi pelaku sawit bahkan berkolaborasi bersama ILO, PAACLA Indonesia, JARAK, PKPA dan organisasi pegiat tenaga kerja/gender lainnya untuk menyusun “Panduan Praktis dan Praktik Baik Sawit Indonesia Ramah Anak.”
Adapun kerja sama ini tak hanya bertujuan untuk menciptakan ekosistem sawit ramah anak saja, melainkan juga mendorong perusahaan perkebunan sawit untuk menyediakan fasilitas pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti fasilitas pengasuhan anak (daycare) di tempat kerja, fasilitas pendidikan formal dan nonformal serta fasilitas pemenuhan kebutuhan dasar anak lainnya.
Sawit Ramah Gender
Adapun isu lainnya yang mengemuka secara global untuk menyerang sawit adalah isu bahwa perkebunan sawit tidak ramah gender. Ketenagakerjaan pada perkebunan sawit saat ini juga tengah menjadi topik pembahasan global berkaitan dengan isu gender equity atau kesetaraan gender.
PASPI memaparkan bahwa di sektor perkebunan sawit baik petani maupun karyawan perusahaan, tenaga kerjanya tidak pandang gender baik laki-laki maupun perempuan, semua setara. Hal ini terlihat dari pembagian kerja antara pekerja perempuan dan laki-laki yang sesuai dengan kompetensi serta tingkat risiko pekerjaannya.
Baca Juga: Luhut Kesal, Perusahaan Sawit Masih Banyak Tak Miliki NPWP
“Hal ini menunjukkan bahwa telah dilakukan upaya perlindungan tenaga kerja itu sendiri. Pekerjaan budidaya di perkebunan sawit membutuhkan kekuatan fisik dengan level tertentu dan berada di dalam “hutan” kebun, yang dinilai terlalu berat untuk perempuan, membuat pekerjaan tersebut lebih didominasi oleh pekerja laki-laki,” tutur PASPI.
Sementara itu, komitmen stakeholder sawit dalam mewujudkan kesetaraan gender pada perkebunan sawit sudah tertuang dalam sistem sertifikasi ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) berupa Perpres No. 44 Tahun 2020 dan Permentan No. 38 Tahun 2020.
Tak hanya ISPO, kesetaraan gender juga diatur dalam Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan yang tertuang dalam Inpres No. 6 Tahun 2019. Dalam regulasi tersebut, sudah dimasukkan prinsip non-diskriminasi gender dan responsif gender.
Selain itu, perusahaan perkebunan sawit juga berkomitmen melindungi pekerja perempuan dengan dibentuknya Komite Gender yang merupakan wadah pekerja perempuan untuk bersuara dan memberikan masukan kepada manajemen perusahaan. Harapannya, komite tersebut juga mewujudkan kesetaraan, keadilan, perlindungan, pemberdayaan perempuan dan melindungi pekerja perempuan dari pelecehan seksual serta kekerasan.
Sawit Menjamin Kebebasan Serikat Pekerja
Perusahaan perkebunan sawit di Indonesia juga tidak hanya berkomitmen pada kesetaraan gender semata, melainkan juga menjamin kebebasan pekerja untuk berserikat. Implementasi tersebut ditunjukkan dengan terbentuknya seirkat perkebunan sawit. Baik pada level perusahaan hingga federasi serikat pekerja.
“Contohnya Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (FSPBUN) dan Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sawit Indonesia (JAPBUSI),” catat PASPI.
Baca Juga: Masalah Sawit Rakyat, Jokowi Beri Deadline Hanya Sebulan
Perlindungan kebebasan berserikat pada pekerja perkebunan sawit juga tercermin dari salah satu prinsip ISPO yakni Tanggung Jawab Ketenagakerjaan. Dalam prinsip ISPO tersebut, perusahaan diharuskan untuk memfasilitasi pembentukan serikat pekerja. Diharapkan serikat pekerja perkebunan sawit tersebut menjadi bagian stakeholder untuk menciptakan ekosistem kerja yang harmonis dan berperan sebagai bagian perlindungan hak-hak karyawan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar