Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pakar Dorong Aplikasi Skema Subsidi Energi Ini, Setahun Bisa Hemat Lebih dari Rp50 T!

        Pakar Dorong Aplikasi Skema Subsidi Energi Ini, Setahun Bisa Hemat Lebih dari Rp50 T! Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Centre for Policy Development (CPD) sebagai think tank kebijakan publik yang independen dan nirlaba mendorong reformasi kebijakan subsidi energi dari berbasis komoditas (commodity-based) menjadi subsidi langsung bersasaran (direct-targeted). CPD meyakini bahwa reformasi ini dapat menciptakan ruang fiskal yang besar bagi Indonesia, tidak hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi 8%, tetapi juga untuk mempercepat transisi energi ke Energi Baru Terbarukan (EBT).

        Senior Policy Adviser Indo-Pacific CPD, Ruddy Gobel, menjelaskan bahwa subsidi energi langsung bersasaran akan diberikan hanya kepada rumah tangga miskin dan rentan, bukan kepada semua masyarakat. Menurut perhitungannya, dengan membatasi penerima manfaat hanya kepada kelompok tersebut, pemerintah dapat menghemat sekitar Rp33,7 triliun dari subsidi Liquified Petroleum Gas (LPG) dan Rp23,8 triliun dari subsidi listrik.

        Baca Juga: Langkah Pertamina Sidak SPBU, Guna Pastikan Layanan BBM dan LPG Aman untuk Libur Nataru

        ”Hitung-hitungan saya adalah bahwa kita bisa bebasin sekitar Rp50 triliun per tahun (hanya) dari subsidi listrik dan LPG. Hitung-hitungan saya itu, Rp33,7 triliun dari subsidi LPG dan Rp 23,8 triliun dari subsidi listrik dapat dihemat, jadi fiskal kita punya Rp50 triliun yang dapat digunakan untuk keperluan lain,” ucap Ruddy Gobel kepada Warta Ekonomi di Jakarta, Selasa (04/11/2024).

        Lebih lanjut, Ruddy mengungkapkan dalam realitanya subsidi energi seperti "Kanker" yang terus membebani RI dari sisi fiskal. Pada tahun 2022 misalnya, total subsidi energi dan kompensasi tercatat mencapai Rp502 triliun, atau sekitar 22,3% dari total pengeluaran pemerintah.

        “Dengan memastikan bahwa subsidi tersebut diberikan kepada yang benar-benar membutuhkan, reformasi ini akan memberikan ruang fiskal yang signifikan bagi Indonesia," jelasnya.

        Meski Policy Brief ini sementara hanya untuk LPG dan listrik namun pada prinsipnya sama yakni CPD mendorong agar Pemerintah dapat mereformasi subsidi basis komoditas ke subsidi langsung bersasaran.

        ”Ini fokus pada LPG dan listrik ya, kita belum, tidak fokus pada Bahan Bakar Minyak (BBM) gitu. Tapi prinsip reform-nya yang kita dorong sama, dari subsidi basis komoditas ke subsidi bersasaran langsung, terus kemudian (tugas) berikutnya adalah perbaikan data penerima subsidi, kemudian tadi yang ketiga (bisa) meningkatkan investasi dalam prioritas pembangunan yang berkelanjutan termasuk EBT.  Jadi konsepnya itu kan, bebaskan fiskal, dapat saving. Saving kita fokuskan pada pembangunan energi terbarukan, Insyaallah kalau begitu semua, 8% mungkin bisa,” terang Ruddy. 

        Melansir data dari Tim Nasional Percepatan, Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), selisih harga antara LPG bersubsidi dan non-subsidi sekitar Rp5.000 per kilogram. Mengingat rata-rata konsumsi LPG bulanan sekitar 9 kg, CPD mengusulkan alokasi subsidi tetap bulanan sebesar Rp45.000 untuk penerima manfaat yang memenuhi syarat.

        Lalu berdasarkan basis data Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tahun 2020, diidentifikasi 29,2 juta rumah tangga miskin dan rentan memenuhi syarat untuk mendapatkan subsidi. Dengan subsidi langsung bersasaran maka hanya diperlukan anggaran negara sebesar Rp15,8 triliun per tahun, yang merupakan penghematan sebesar Rp33,7 triliun dari pengeluaran subsidi LPG pada 2020 yang mencapai Rp49,5 triliun.

        Lalu untuk subsidi listrik, besaran subsidi tetap bulanan dapat dihitung berdasarkan nilai rata-rata subsidi yang saat ini diterima oleh rumah tangga Indonesia yang memenuhi syarat.

        Baca Juga: Soal Ojol Tak Dapat Subsidi BBM, Bahlil: Kita Akan Buat Adil

        Dengan memberikan subsidi tetap bulanan sebesar Rp95.000, jumlah ini akan sedikit melebihi subsidi rata-rata yang diterima rumah tangga setiap bulan, namun hanya ditujukan kepada mereka yang paling membutuhkan, sehingga secara signifikan mengurangi pengeluaran keseluruhan.

        Pasalnya, Berdasarkan data DTKS tahun 2020 jumlah pelanggan PLN yang terdaftar dan menerima subsidi listrik, sebanyak 27,2 juta rumah tangga memenuhi syarat. 

        Jika rumah tangga tersebut masing-masing menerima Rp95.000 per bulan, maka total anggaran yang dibutuhkan akan mencapai Rp31 triliun per tahun, akan menciptakan penghematan sebesar Rp23,8 triliun dari pengeluaran aktual subsidi listrik mencapai Rp54,8 triliun.

        Distribusi dan Mekanisme Elektronik

        Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007, subsidi energi bertujuan meningkatkan akses energi bagi masyarakat kurang mampu. Saat ini CPD berpandangan bahwa subsidi energi untuk rumah tangga (baik LPG maupun listrik) lebih banyak menguntungkan kelompok kaya dibandingkan dengan kelompok miskin dan rentan. 

        Beralih ke subsidi langsung yang bersasaran akan memungkinkan subsidi energi secara efektif terserap  kelompok dengan status sosial ekonomi terendah, yaitu mereka yang terdaftar sebagai penerima bantuan sosial dalam basis DTKS. 

        Policy brief ini merekomendasikan konsep penyaluran subsidi ini dijalankan melalui transfer dana elektronik yang langsung terhubung dengan transaksi pembelian komoditas energi, dan diintegrasikan dengan penyaluran bantuan untuk program bantuan sosial yang ada, seperti program bantuan pangan non-tunai (BPNT) dan bantuan pendidikan (PIP). 

        Dalam hal ini Pemerintah harus bekerja sama dengan sektor perbankan dan layanan keuangan lokal untuk mengeksplorasi mekanisme yang dapat menjangkau mereka yang berada di daerah terpencil di luar sistem perbankan formal.

        CPD mengusulkan jumlah subsidi berupa nominal tetap setiap bulan berdasarkan konsumsi rata-rata nasional. Reformasi ini tidak hanya akan lebih adil secara sosial, tetapi juga akan mengurangi permintaan energi secara keseluruhan karena mereka yang tidak lagi menerima subsidi akan didorong untuk menggunakan energi lebih sedikit. 

        Reformasi Subsidi Energi Efektif Dukung Transisi Energi

        Di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang tengah digodok oleh PLN bersama Pemerintah, disebutkan bahwa di tahun 2025-2033 terdapat penambahan kapasitas pembangkit sebesar 68 Gigawatt. Dari total tersebut 67% atau sebesar 46 GW akan dipasok dari energi baru terbarukan (EBT). 

        Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman Hutajulu, pada agenda Electricity Connect 2024 di Jakarta Convention Center, Rabu (20/11/2024), mengatakan bahwa langkah agresif ini membutuhkan dukungan pembiayaan sebesar Rp400 triliun.

        Ruddy melihat dengan masih sepinya pendanan lokal mau pun global yang masuk untuk mendukung program transisi energi RI, maka reformasi subsidi energi bisa menjadi jawaban konkret untuk mendukung transisi energi di Indonesia.

        Baca Juga: Subsidi BBM Bakal Disalurkan Dua Skema, Begini Penjelasan Bahlil

        ”Hitung-hitungan saya itu 33,7 triliun dari subsidi LPG dan 23,8 triliun dari subsidi listrik dapat dihemat. Jadi fiskal kita punya 50 triliun, kalau (sampai) 2033 butuh (pendanaan) Rp400 triliun, berarti kan kalau kalau 5 tahun aja kita udah bisa dapat dari savingnya,” tutup Ruddy. 

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: