
Langkah Indonesia merilis pernyataan bersama antara Indonesia dan China dalam kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke Beijing November 2024 lalu dinilai sebagai langkah yang dapat dipahami. Asalkan Indonesia tetap tegas berpegang pada hukum laut internasional, yaitu United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
Pandangan ini muncul dan memperoleh penekanan dalam diskusi “Hubungan Indonesia-China Pasca Joint Statement: Perspektif Diplomasi dan Keamanan” yang diselenggarakan Indonesian Maritime Security Initiative (Indomasive) di Jakarta, Kamis (23/1). Indomasive merupakan sebuah organisasi yang secara khusus mempelajari dan mendalami mengenai keamanan laut di Indonesia
Dalam pemaparannya, Mantan Dekan Fakultas Keamanan Nasional (FKN) Universitas Pertahanan (Unhan), Mayjen TNI Dr. Ir. Pujo Widodo menjelaskan situasi geopolitik yang dihadapi Indonesia pada tahun 2025 dan tahun tahun mendatang. Di antaranya meningkatnya kompetisi strategis antara Cina dan Amerika Serikat (AS) serta potensi penyerbuan China ke Taiwan.
Baca Juga: Ingin China Jadi Mitra Strategis, Pakar Sebut Manuver Geopolitik Prabowo Mirip dengan Jokowi
Menurutnya, hal itu mengakibatkan berkembangnya risiko keamanan dan ketegangan militer di Kawasan. Meski demikian, Mayjen Widodo mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia yang dengan piawai menavigasi hubungan Indonesia antara Barat dan China.
“Indonesia bersedia melakukan latihan militer dengan AS dan negara-negara lainnya, tetapi juga siap menjajaki kerja sama ekonomi dengan China,” tutur perwira tinggi TNI Angkatan Darat itu.
Meski demikian, ia mengingatkan masih terdapatnya kecurigaan di kalangan Indonesia terhadap potensi pencaplokan wilayah Indonesia yang kaya akan migas oleh China.
Menurutnya, Indonesia tetap berupaya mencegah dominasi China di Asia Tenggara, antara lain dengan mengajak negara-negara Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk bersatu menghadapi China.
Dalam pandangannya, Indonesia perlu melakukan berbagai langkah pencegahan, antara lain, dengan melakukan penebalan kekuatan, khususnya TNI Angkatan Laut di wilayah wilayah yang rawan ancaman.
Baca Juga: Mobil Terbang Sudah Meluncur di atas Kota China, Sebentar Lagi Terwujud Jadi Kendaraan Massal
Sementara itu, Ketua Program Studi Keamanan Maritim UnHan, Kolonel Laut Dr. Panji Suwarno mengungkapkan dampak dari hadirnya joint statement Indonesia China yang jelas terlihat adalah peningkatan kerja sama dan hubungan diplomatik antara kedua negara. Namun demikian, ia meminta Indonesia untuk berhati-hati bila China memanfaatkan munculnya joint statement di atas untuk kepentingannya semata.
“Kita perlu waspada bila China memanfaatkan momen ini untuk membangun opini seolah olah Indonesia pro-China,” tegasnya.
Oleh karenanya, Indonesia harus melakukan langkah yang tepat, antara lain meningkatkan kekuatan pertahanan dan keamanan laut, serta menjaga peran sebagai pihak yang netral dalam rivalitas yang melibatkan China.
Dalam hal klaim China terhadap sebagian Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara (LNU), selain netralitas di atas, Kolonel Panji berpandangan bahwa Indonesia harus tetap tegas berpegang pada UNCLOS.
“Tindakan pemerintah Indonesia melakukan joint statement tidak menjadi sebuah persialan selama Indonesia tetap tegas berpegang kuat pada UNCLOS 1982. Namun, setiao risiko yang mungkin terjadi setelah joint statement perlu diantisipasi dengan bijak agar jangan sampai membuat Indonesia kehilangan posisi dan netralitas di ASEAN, dan menurutkan tingkat keamanan serta pertahanan di perairan LNU,” katanya.
Kolonel Panji juga menekankan pentingnya Indonesia mempopulerkan nama Laut Natuna Utara sebagai bagian dari upaya mempertahankan hak berdaulat Indonesia di perairatan tersebut.
Baca Juga: Ulahnya Donald Trump Membuat Barang China Diborong Importir AS
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Indomasive Fauzan Aminullah yang menekankan pula pentingnya Indonesia berpegang teguh pada UNCLOS dan tetap tidak mengakui klaim China atas ZEE Indonesia di perairan LNU, untuk menghindari celah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak China dalam meningkatkan aktivitas ilegalnya di perairan LNU tersebut.
Penekanan pada pentingnya berpegang pada UNCLOS dan pentingnya menjaga netralitas juga disampaikan oleh Johanes Herlijanto, Ketua FSI yang sekaligus Dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan.
Johanes juga menekankan pentingnya memahami istilah kedaulatan bukan hanya sebagai istilah yang merujuk pada batas wilayah teritori semata, tetapi secara lebih luas menyangkut hak berdaulat, bahkan kemandirian bangsa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait: