Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Indonesia Pacu Hilirisasi Petrokimia dan Gas Sebagai Andalan Pertumbuhan Ekonomi di Era Prabowo

        Indonesia Pacu Hilirisasi Petrokimia dan Gas Sebagai Andalan Pertumbuhan Ekonomi di Era Prabowo Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Yogyakarta -

        Dalam mencapai Nawacita yang telah diprioritaskan, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita berkomitmen kuat untuk terus memacu laju hilirisasi di industri petrokimia dan gas di Indonesia melalui berbagai terobosan kebijakan. 

        Hal ini terutama ditujukan untuk mencapai target pertumbuhan sebesar 8 persen, mengingat sektor petrokimia dan gas memberikan multiplier effect yang sangat besar terhadap sektor ekonomi lainnya.

        Pada acara Tekagama Forum Petrokimia dan Gas yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik UGM, Jumat, 21 Februari 2025, di Kampus Bulak Sumur, hadir Rektor, Civitas Akademika, dan stakeholder industri petrokimia dan gas. 

        Dalam kesempatan tersebut, Dirjen IKFT, Taufiek Bawazier, yang juga menjadi pembicara, menyampaikan rumusan teknokratis agar sektor petrokimia dan gas dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PDB Nasional. 

        Menurut Taufiek, sektor Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) harus menambah kontribusi PDB sebesar Rp39,77 triliun dengan skenario porsi sektor industri terhadap PDB nasional sebesar 18,9 persen. Jika target kontribusi industri mencapai 21,9 persen dari PDB Nasional, maka sektor IKFT harus menambah sumbangan sebesar Rp46,09 triliun.

        Kalkulasi teknokratis ini diambil dari perhitungan baseline PDB harga konstan tahun 2024 sebesar Rp12.920 triliun. Dengan peningkatan 8 persen, diperlukan tambahan sekitar Rp1.033 triliun yang akan memperkuat PDB nasional menjadi Rp13.953 triliun. 

        Baca Juga: Digitalisasi Meningkat, Pemerintah Soroti Dampak Konsumsi Energi Data Center

        “Artinya, dengan dua skenario di atas, kontribusi sektor industri nasional secara keseluruhan harus menambah porsi masing-masing sebesar Rp195 triliun (jika share industri 18,9 persen) dan Rp226 triliun (jika share industri 21,9 persen),” jelas Taufiek.

        Lebih lanjut, Taufiek menjelaskan bahwa dalam skenario pertama, sektor IKFT, khususnya industri kimia, barang kimia, dan farmasi, harus memberikan tambahan nilai minimal Rp18,37 triliun hingga Rp21,28 triliun. Pada tahun 2024, subsektor IKFT berkontribusi sebesar Rp555,40 triliun. 

        Menurutnya, hal ini dapat dicapai melalui integrasi kebijakan nasional yang pro-industri, seperti pengendalian impor, kemudahan investasi di hulu, intermediate, dan hilir, serta harga Gas HGBT yang kompetitif dengan pasokan yang konsisten tanpa kekurangan bahan baku.

        Taufiek menambahkan bahwa secara nasional, kapasitas produk olefin dan turunannya mencapai 9,7 juta ton, produk aromatik dan turunannya 4,6 juta ton, serta produk C1 (metanol) dan turunannya 980.000 ton. Seharusnya, kemampuan nasional ini mampu memenuhi kebutuhan domestik, namun faktanya utilisasinya masih belum maksimal. Pada tahun 2023, impor produk petrokimia mencapai USD9,5 miliar. 

        Sebagai contoh, produk LLDPE memiliki kapasitas nasional 700.000 ton, dengan konsumsi nasional 656.150 ton, namun impornya mencapai 280.385 ton, sementara pasokan dari dalam negeri hanya 375.765 ton. Begitu pula dengan PP Homopolymer yang memiliki kapasitas nasional 935.200 ton, namun impornya mencapai 775.662 ton, sementara pasokan dari dalam negeri hanya 718.000 ton. 

        Saat ini, sudah ada tambahan investasi baru untuk produk ini. Yang menarik, PP Copolymer memiliki kapasitas nasional 368.000 ton, namun impornya mencapai 381.348 ton, sementara pasokan dari dalam negeri hanya 53.239 ton (utilisasi hanya 15 persen). Produk PET juga hanya mencapai utilisasi 41 persen.

        Oleh karena itu, Kemenperin meminta agar produk-produk yang sudah mampu dihasilkan di dalam negeri dan memiliki utilisasi rendah dapat diberlakukan kuota impor hanya dengan persetujuan PI dan LS, tanpa pertimbangan teknis minimal 40 persen, untuk meningkatkan utilisasi saat ini. 

        Baca Juga: Pertama dan Terbesar di Indonesia, Teknologi PLTS Bersistem Penyimpanan Baterai Microgrid dalam Kontainer Resmi Diluncurkan

        “Di sinilah pentingnya instrumen kebijakan integratif dari kementerian terkait untuk mendorong kemampuan produksi nasional sekaligus memberikan kepercayaan bagi investor yang telah membangun fasilitas produksi di Indonesia. Langkah ini merupakan solusi jangka pendek. Untuk jangka menengah, kemampuan refinery minyak untuk memproduksi nafta sebagai bahan baku industri petrokimia harus terintegrasi dengan produk hilirnya, mengingat saat ini Indonesia masih menjadi net importer nafta. Secara logika, daya saing kita akan lebih lemah dibandingkan negara-negara yang memiliki industri petrokimia terintegrasi dari hulu (nafta) hingga hilir. Minimal, kita dapat melakukan substitusi dengan langkah jangka pendek,” ujar Dirjen IKFT itu.

        “Peluang investasi di sektor ini sangat besar. Misalnya, kebutuhan nasional metanol mencapai 1,6 juta ton, sementara produksi nasional hanya 721.424 ton. Hal ini perlu diarahkan pada investasi baru dalam pohon industri yang telah dibuat oleh Kemenperin, termasuk pohon industri dari minyak bumi, gas, dan batubara. Di dalamnya, kami telah membuat turunan produk dan nilai tambahnya beserta pasokan dan permintaan di dalam negeri,” imbuh Taufiek.

        Baca Juga: Indonesia Targetkan Pemanfaatan Energi Laut 3 GW Hingga 2060

        “Dalam mendukung swasembada pangan, dukungan Kemenperin terhadap industri pupuk sangat kuat. Secara nasional, utilisasi industri pupuk urea mencapai 8.875 KTA, dengan pasokan nasional sebesar 7.897 KTA. Bahkan, Indonesia mampu mengekspor pupuk urea sebanyak 1.376 KTA, sementara impor hanya 75 KTA. Begitu pula dengan pupuk jenis NPK yang memiliki kapasitas nasional 8.897 KTA, mampu memenuhi seluruh kebutuhan nasional sebesar 3.481 KTA. Namun, bahan baku seperti fosfat alam dan kalium masih perlu diimpor untuk menopang produksi pupuk NPK. Tentu saja, dunia riset ditantang untuk menemukan pengganti unsur ini dengan efikasi yang sama untuk tanaman, sebagai upaya ketahanan pupuk, terutama dengan memanfaatkan bahan baku yang ada di dalam negeri dengan kualitas dan manfaat yang sejenis,” jelas Taufiek.

        Menurut Taufiek, ke depan, semua stakeholder universitas dan pusat penelitian, khususnya yang fokus pada riset, harus sejalan dengan kebutuhan industri. 

        “Minimal, mereka harus meneliti produk yang ada dalam pohon industri, sehingga dukungan riset dan inovasi di sektor petrokimia menjadi nyata. Pembiayaan tentu akan mengikuti kebutuhan pasar nasional yang besar, secara teknis capable, secara ekonomi feasible, dan secara komersial acceptable. Selain itu, adanya tren global ke arah biochemical, biogas, dan kimia berbasis sumber daya alam hayati dan hewani harus menjadi perhatian kita semua sebagai bangsa. Dengan demikian, target nasional dapat tercapai melalui kebijakan semua stakeholder yang berpihak pada industri petrokimia,” pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Tag Terkait:

        Bagikan Artikel: