Kredit Foto: Istimewa
Kehadiran Tenaga Kerja Asing (TKA) asal RRC nampaknya masih merupakan sebuah isu yang menjadi tantangan yang perlu diperhatikan dalam hubungan antara Indonesia dan Republik Rakyat China (RRC), yang tahun ini telah mencapai rentang waktu 75 tahun.
Pandangan ini menjadi salah satu hal yang mengemuka dan dibahas dalam seminar bertajuk “Tenaga Kerja Asing dan Hubungan Indonesia China” yang diselenggarkan oleh Paramadina Public Policy Institute (PPPI) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta, Senin (5/5).
Managing Director of Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Ahmad Khoirul Umam, menyampaikan bahwa topik mengenai TKA asal RRC ini bukan saja menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga di negara-negara Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin.
Ia juga menyoroti kecenderungan meningkatnya angka dan persentasi dari TKA asal China itu dibandingkan dengan TKA asing lainnya. Bagi Umam, isu ini perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Baca Juga: Ekonomi RI Tumbuh 4,87%, Airlangga: Di Atas Malaysia dan Spanyol, Beda Tipis dari China
“Saya mengharapkan agar diskusi ini bukan hanya berfokus pada bagaimana memberdayakan masyarakat dan pekerja lokal, tetapi juga mendorong agar transfer teknologi dari China benar-benar terlaksana,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua FSI Johanes Herlijanto, menganggap isu TKA China sangat relevan bagi studi mengenai China dan hubungan Indonesia-China karena isu ini dapat dipahami dalam kerangka migran baru asal RRC.
Menurutnya, berbeda dari “migran lama” yang membentuk komunitas etnik Tionghoa yang telah berakar dan menjadi bagian dari masyarakat setempat di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain, fenomena migran baru mulai muncul sejak tahun 1980-an, dan sebagian besar di antara mereka masih memegang kewarganegaraan RRC.
“Sebagian dari mereka berpendidikan tinggi dan memilih untuk bermigrasi ke negara-negara yang relatif kaya, seperti negara-negara di Eropa, Amerika Utara, dan Australia atau Selandia Baru,” tutur Johanes, yang juga Dosen Magister Ilmu Komunikasi UPH itu.
Namun, seiring dengan kebijakan RRC untuk memberikan bantuan serta berinvestasi dengan negara lain, TKA China turut membentuk fenomena “migran baru” tersebut. “Mereka menjadi bagian dari ‘bantuan terikat’ asal RRC yang mensyaratkan pemanfaatan tenaga kerja dan bahan asal RRC dalam proyek yang didanai dengan bantuan atau investasi RRC di negara tujuan,” jelasnya.
Baca Juga: Lampu Hijau De-eskalasi, China Pertimbangkan Keluhan Trump Demi Muluskan Negosiasi
Menurut Johanes, kehadiran tenaga kerja itu mendapat penerimaan yang beragam dari masyarakat Indonesia dari berbagai periode. “Pada pertengahan 2000-an, masyarakat Indonesia menganggap TKA China sebagai inspirasi, khususnya karena etos kerja mereka, yang antara lain memperlihatkan kedisiplinan,” ujarnya.
Namun, ia juga menjelaskan bahwa sejak 2015, berkembang pula pandangan negatif di kalangan masyarakat terhadap kehadiran TKA asal China tersebut, khususnya terkait jumlah dan persentasi mereka, potensi mereka menjadi pesaing bagi pekerja dan calon pekerja asal Indonesia, kesenjangan budaya, dan isu terkait legalitas mereka.
Dalam pandangan Johanes, meski persepsi yang berkembang dalam masyarakat kadang-kadang berbeda dari realita yang ada, namun kekhawatiran yang berkembang dalam masyarakat dapat dipahami.
Johanes juga memberi perhatian khusus pada persentasi yang cukup tinggi serta kecenderungan peningkatan dari TKA asal China itu. Selain itu, dalam pandangannya, isu terkait legalitas dari sebagian TKA asal China itu juga patut mendapat perhatian khusus.
“Pasalnya, seperti dituliskan dalam studi dari seorang profesor di sebuah universitas di manca negara, sebagian dari TKA asal China tak jarang melakukan praktik ‘easy come easy go,’ yaitu datang dengan visa yang tak sesuai aturan izin kerja untuk bekerja di Indonesia, lalu pergi meninggalkan Indonesia ketika masa berlaku visa habis, dan kembali lagi ke Indonesia setelah beberapa waktu,” tutur Johanes.
Dalam penilaiannya, RRC sebenarnya dapat mencari solusi untuk mengurangi kehadiran TKA China ini, antara lain dengan memberi perhatian pada transfer teknologi dan pengetahuan.
“Alih-alih berkutat pada anggapan bahwa pekerja Indonesia kurang mumpuni dan memiliki kesulitan komunikasi dengan pihak China, RRC diharapkan meningkatkan komitmen untuk melakukan transfer teknologi dan transfer pengetahuan sehingga di masa mendatang terdapat pekerja-pekerja Indonesia yang memiliki kecakapan setara dengan TKA asal China dan dapat berkomunikasi dengan baik dengan rekan-rekan mereka asal RRC,” pungkasnya.
Baca Juga: Panasnya Perang Dagang AS-China, Indonesia Bisa Jadi Pemain Utama Rantai Pasok Dunia
Sementara itu, Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Anggiat Napitupulu, mengungkapkan terjadi perubahan dalam hal perizinan sejak berlakunya Undang Undang Cipta Kerja. Menurutnya, perubahan tersebut antara lain berupa penyederhanaan perizinan TKA, serta visa dan izin tinggal yang dapat diperoleh dengan lebih cepat.
Sementara itu, Sub Koordinator Uji Kelayakan dan Pengesahan RPTKA Sektor Industri Kementerian Ketenagakerjaan, Ali Chaidar Zamani, menyampaikan bahwa berdasarkan pengesahan RPTKA yang telah diterbitkan, pada tahun 2024 saja, telah terdapat 101 ribu lebih RPTKA yang telah diterbitkan.
“Namun angka ini masih berupa perizinan di atas kerja, dan belum tentu merepresentasikan jumlah TKA asing yang memasuki Indonesia,” ujarnya. Zamani menjelaskan alasan yang seringkali disampaikan oleh perusahaan ketika mengajukan permohonan penggunaan TKA asal China. Yang terutama adalah karena proyek yang dikerjakan adalah proyek serah kunci (turn key project). Selain itu, pengoperasian mesin atau teknologi yang berbasis negara asal.
Meski demikian, menurutnya, penting untuk ditegaskan bahwa TKA yang datang tidak menggantikan tenaga kerja lokal, tetapi melengkapi kebutuhan sementara yang belum dapat dipenuhi dalam negeri.
Namun demikian, pemerhati ekonomi dari Universitas Paramadina, Muhammad Iksan, menyatakan bahwa kehadiran TKA asal RRC dalam beberapa waktu ke depan masih akan mewarnai masyarakat Indonesia.
Oleh karenanya, Iksan berpandangan agar pemerintah Indonesia mempertahankan upaya untuk mengurangi ekses atau dampak negatif dari kedatanganan TKA China tersebut. Antara lain dengan memperkuat pengawasan izin bekerja yang baru, disertai percepatan alih pengetahuan dan alih teknologi bagi perusahan penanaman modal asing asal RRC. “Dengan demikian dominasi penggunaan TKA asal RRC dapat dikurangi,” tutur Iksan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait: