Kredit Foto: Istimewa
Sejumlah lembaga thinktank dan lembaga pendidikan mendesak pemerintah untuk memperketat penerapan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola Environmental, Social, and Governance (ESG) di sektor mineral kritis.
Desakan ini timbul setelah mencuatnya kasus tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Desakan ini menyasar seluruh rantai usaha, dari penambangan hingga hilirisasi.
policy strategist CERAH, Al Ayubi mengungkapkan bahwa praktik ESG oleh perusahaan tambang maupun smelter nikel masih sangat lemah. Ia menilai kondisi ini merugikan masyarakat dan lingkungan.
Baca Juga: Kemenpar Terus Pantau Raja Ampat di Tengah Polemik Penutupan Destinasi hingga Tambang Nikel
“Misalnya, emisi sebagian besar smelter nikel tercatat mencapai 58,6 ton CO₂ per ton nikel, jauh di atas emisi fasilitas yang sama milik BHP Nickel West, Australia, yang hanya 11 ton CO₂ per ton nikel,” ujar Ayubi keterangan tertulis yang diterima, Kamis (30/6/2025).
Ayubi mencontohkan kasus pencemaran sumber air di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara akibat tambang nikel, serta 93 kecelakaan kerja yang terjadi di industri smelter nikel sepanjang 2015–2023.
Ayubi menyatakan, jika pemerintah menetapkan standar ESG yang ketat dan mengikat, maka perusahaan-perusahaan nikel akan terdorong untuk mengurangi dampak kerusakan. “
Misalnya, insentif fiskal dan perizinan sebaiknya hanya diberikan kepada proyek yang memenuhi ambang batas ESG yang jelas, seperti penggunaan energi bersih, perlindungan hak masyarakat adat, keterlibatan komunitas lokal, dan rehabilitasi lingkungan,” tegasnya.
Ia menambahkan, standar ESG juga harus menjamin distribusi manfaat yang adil serta mencegah konflik sosial di wilayah tambang.
“Bukan sekadar digunakan untuk melegitimasi proyek,” ucapnya.
Direktur Djokosoetono Research Center Universitas Indonesia (DRC UI), Patricia Rinwigati, menekankan pentingnya keseragaman dan penegakan standar ESG di seluruh perusahaan, baik besar maupun kecil.
Ia menilai pemerintah perlu menetapkan regulasi yang mengikat agar prinsip ESG bisa diterapkan secara adil dan menyeluruh.
“Dalam penetapan standar ESG ini perlu ada koherensi atau integrasi antara hukum nasional dan standar internasional, serta harus fokus pada masyarakat terdampak. Kemudian perlu juga dibangun sistem pengawasan dan pelaporan yang komprehensif, serta pemanfaat teknologi dalam pelacakannya,” kata Patricia.
Community Outreach Coordinator untuk Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA), Andre Barahamin, menekankan pentingnya prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) dalam standar ESG seperti IRMA. Prinsip ini, kata dia, termasuk hak masyarakat untuk menolak proyek yang masuk ke wilayah mereka.
“Jika perusahaan mematuhi standar ESG seperti IRMA, maka penerimaan pasar akan lebih besar, membaiknya reputasi di rantai pasok internasional, dan dapat menjadi perangkat mitigasi bagi perusahaan dalam upaya penghormatan dan perlindungan HAM masyarakat adat dan komunitas lokal yang terdampak oleh aktivitas perusahaan tambang tersebut,” ujar Andre.
Andre menambahkan, permintaan pasar global terhadap praktik bisnis pertambangan yang bertanggung jawab terus meningkat, terutama untuk sumber mineral kritis.
Oleh karena itu, pemenuhan standar ESG menjadi tolok ukur komitmen perusahaan terhadap mitigasi risiko lingkungan, pelanggaran HAM, serta konflik sosial jangka panjang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait: