Kredit Foto: Uswah Hasanah
Kenaikan tarif impor Amerika Serikat terhadap sejumlah produk Indonesia dinilai menjadi pengingat penting akan risiko ketergantungan pada satu pasar ekspor.
Dalam paparannya, Direktur Eksekutif INDEF, Esther Sri Astuti, menegaskan bahwa dinamika kebijakan dagang AS yang fluktuatif harus dijadikan pelajaran strategis bagi Indonesia untuk segera melakukan diversifikasi tujuan ekspor.
“Dari semula 10 persen, tarif sempat naik menjadi 32 persen, lalu diturunkan lagi menjadi 19 persen. Perubahan-perubahan ini bukan sekadar angka, tapi tanda bahwa kita tidak bisa terlalu menggantungkan diri pada satu negara tujuan,” ujar Esther dalam diskusi yang digelar INDEF di Jakarta, Senin (21/7/2025).
Baca Juga: Tarif Lebih Rendah Tak Selamatkan Ekspor RI, INDEF: Waspadai Banjir Impor dari AS
Menurutnya, gejolak kebijakan tarif yang dilakukan negara mitra seperti Amerika Serikat menciptakan ketidakpastian bagi pelaku usaha dalam negeri. Industri padat karya seperti tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki menjadi sektor paling rentan terhadap kebijakan dagang semacam ini.
Ester menekankan, untuk memperkuat daya tahan ekspor nasional, Indonesia perlu memperluas jangkauan pasar ke kawasan lain yang potensial, seperti Uni Eropa, ASEAN, hingga negara-negara Asia Selatan.
“Selama ini ekspor kita ke AS memang besar, tapi Uni Eropa juga menyerap produk serupa: minyak nabati, industri kimia, produk mineral, hingga barang-barang padat karya. Itu peluang yang harus dimaksimalkan,” ujarnya.
Ia juga menggarisbawahi bahwa pengalaman negara seperti Vietnam patut dicontoh. Saat perang dagang AS–China memuncak pada 2019, Vietnam justru mampu menjadi pemenang dengan cara memperluas pasar dan melakukan diversifikasi produk.
Baca Juga: Ekonom INDEF: Swasembada Pangan dan Energi jadi Kunci Kemandirian Ekonomi Nasional
“Diversifikasi ini penting bukan hanya untuk menghindari risiko pasar tunggal, tetapi juga membuka peluang pertumbuhan baru bagi industri dalam negeri,” ujar Esther.
Dalam jangka panjang, kata Esther, strategi pemerintah seharusnya tidak hanya berfokus pada negosiasi tarif, tetapi juga memperkuat kerjasama ekonomi lintas kawasan, menciptakan iklim investasi yang kondusif, serta memperbanyak variasi produk ekspor. Ketiganya menjadi pilar penting agar ekonomi Indonesia tidak mudah terguncang oleh perubahan kebijakan negara mitra dagang.
“Ini bukan hanya soal tarif, tapi soal kemandirian ekonomi. Kita tidak boleh lagi terlalu bergantung,” tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Fajar Sulaiman