Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Agraria Rempang-Galang Jadi Momentum Pemerintah Wujudkan Pembangunan Berbasis Rakyat

        Agraria Rempang-Galang Jadi Momentum Pemerintah Wujudkan Pembangunan Berbasis Rakyat Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Pulau Rempang dan Galang kembali mencuri perhatian publik. Kawasan yang memiliki nilai sejarah, budaya, sekaligus potensi ekonomi strategis ini tengah menjadi perbincangan. 

        Banyak pihak menilai momentum ini sebagai kesempatan bagi pemerintah untuk menghadirkan solusi berkeadilan yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat sekaligus membuka peluang investasi yang sehat dan berkelanjutan.

        Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menegaskan bahwa Rempang-Galang bukan kawasan kosong. Ia mengingatkan bahwa sejak masa Kesultanan Lingga-Riau, wilayah itu sudah dihuni dan tercatat dalam Staatsblad 1905 No. 118 serta 1938 No. 442 sebagai kawasan permukiman sekaligus lahan budidaya.

        Baca Juga: IAW Dorong Pemerintah Perkuat Perlindungan Kawasan Konservasi dan Hak Masyarakat Adat

        Sejarah pemanfaatan kawasan ini juga menunjukkan keterlibatan langsung negara. Pada masa Presiden Soekarno, PT Mantrust mengelolanya sebagai perkebunan nanas nasional. Di era Orde Baru, Galang difungsikan sebagai kamp pengungsi Vietnam di bawah UNHCR. Saat pandemi COVID-19, pemerintah bahkan membangun rumah sakit darurat di sana. Namun, seluruh periode itu masyarakat hanya diminta menanggung beban tanpa memperoleh kepastian hak atas tanah.

        “Sekarang Presiden Prabowo Subianto hendak menjadikannya penampungan bagi saudara kita dari Palestina, rakyat tentu tidak akan pernah menolaknya. Warga di sana patuh pada pemerintah!” kata Iskandar, Senin (17/8/2025) 

        Iskandar menilai akar konflik muncul sejak SK Menhut No. 123/Kpts-II/1986 yang menetapkan sekitar 17.000 hektare Rempang sebagai Kawasan Hutan Taman Buru. Ia menyebut penetapan itu cacat karena tidak melibatkan masyarakat adat dalam proses inventarisasi. Status kawasan hutan tersebut kemudian dipakai pemerintah menolak sertifikasi tanah warga, meski lahan sudah lama dihuni bahkan digunakan untuk fasilitas publik.

        Persoalan bertambah rumit setelah tahun 2004, ketika DPRD Batam menerbitkan rekomendasi investasi dan Pemkot Batam menandatangani MoU dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) milik Tomy Winata. Proyek itu diberi nama Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE).

        “Fakta-fakta yang mencengangkannya adalah luas lahan konsesi: ±17.000 hektare, mencakup Pulau Rempang–Galang, masa konsesi hingga 80 tahun, tidak ada tender atau konsultasi publik, dan tanah masih berstatus hutan lindung,” jelas Iskandar.

        Isu penyimpangan sebenarnya sudah disoroti aparat negara. Kapolri Jenderal Pol Sutanto pada 2007 menegaskan adanya pelanggaran, Tomy Winata diperiksa Bareskrim pada 2008, bahkan DPR memanggil Wali Kota Batam, Nyat Kadir. Namun, proses hukum berhenti tanpa kejelasan.

        Laporan resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga berulang kali menegaskan adanya masalah serius. Tahun 2016, BPK menyatakan BP Batam tidak memiliki data legal formal aset eks HGU. Tahun 2021, ditemukan tumpang tindih lahan serta lemahnya AMDAL. Tahun 2023, BPK memperingatkan risiko kriminalisasi warga dan potensi konflik sosial.

        “Namun, tiga kali BPK bersuara, tiga kali pula negara seakan tuli. Rekomendasi demi rekomendasi tak kunjung dijadikan pijakan perbaikan. Alih-alih bertindak sesuai amanat audit, pemerintah justru mempercepat agenda investasi kontroversial atas nama Rempang Eco City, sambil mengabaikan bahwa fondasi legal atas tanah tersebut masih penuh lubang,” kata Iskandar.

        IAW menilai pengabaian laporan BPK adalah kelalaian serius. Menurut Iskandar, kerugian negara bukan hanya menyangkut aset dan uang, tetapi juga lunturnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah.

        Selain itu, Iskandar mempertanyakan dasar hukum penetapan Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Perpres No. 78/2023. Ia menyebut kebijakan itu bertentangan dengan Putusan MK No. 35/2012 tentang hak masyarakat adat, juga tidak sesuai dengan amanat UUPA 1960 Pasal 6 dan 14 yang mewajibkan tanah negara diprioritaskan untuk rakyat. Padahal, Perpres No. 88/2021 dengan jelas mengatur penyelesaian konflik agraria berbasis dialog.

        Baca Juga: IAW Sebut Dugaan 1,3 Miliar Data SIM Bocor jadi Ancaman Digital Terbesar di Dalam Negeri

        “Alih-alih menyelesaikan, pemerintah sejak dahulu malah menggusur. Ini bukan pembangunan, ini pengingkaran. Semoga pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mumpuni untuk menyelesaikan sengkarut berdekade itu,” ujarnya.

        Sebagai jalan keluar, IAW meminta Presiden Prabowo mencabut status PSN Rempang Eco City, meninjau kembali seluruh MoU Pemkot Batam dengan PT MEG, dan membatalkan SK Menhut 1986. DPR dan KPK juga didorong untuk membuka kembali kasus 2008, melakukan audit ulang aset Rempang, dan menindaklanjuti dugaan tipikor.

        “Negara hadir untuk rakyat, bukan MoU gelap. Jangan karena satu tanda tangan tahun 2004, puluhan ribu warga harus kehilangan rumah dan sejarah. Rempang adalah pengingat bahwa kedaulatan tak bisa ditukar proyek. Jika negara tetap diam, sejarah akan mencatat bahwa investasi dimenangkan, tapi keadilan dikalahkan,” pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: