Kredit Foto: BPMI
Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Riandy Laksono, menilai Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 berisiko menekan pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Ia menyebut struktur belanja yang bertumpu pada Matching Budget Grant (MBG) dan tingginya subsidi energi membuat APBN rentan terhadap pelebaran defisit serta lemahnya daya dorong terhadap sektor riil.
“Realisasi belanja masih bermasalah karena mayoritas ditempatkan di MBG. Sementara penyerapannya rendah. Ini berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi dan memperbesar risiko shortfall penerimaan,” kata Riandy dalam media briefing bertajuk “Menimbang Janji Politik di Tengah Keterbatasan Fiskal” di Jakarta, Senin (18/8/2025).
Baca Juga: RAPBN 2026 Jadi Pertaruhan Janji Politik Prabowo
Menurutnya, RAPBN 2026 memiliki delapan prioritas, mulai dari ketahanan pangan, energi, pendidikan, kesehatan, pertahanan, hingga investasi. Namun, sektor pencipta lapangan kerja langsung hanya mendapat porsi kecil.
“Isu lapangan kerja makin bermasalah. Industri manufaktur yang dulunya menjadi mesin pertumbuhan sudah lama melemah dan tidak lagi menjadi penarik utama ekonomi,” ujarnya.
CSIS mencatat alokasi ketahanan pangan mencapai Rp160 triliun, subsidi energi tetap besar, sementara MBG mencapai Rp335 triliun, setengah dari anggaran pendidikan. Namun, hingga pertengahan tahun ini, realisasi MBG baru Rp8 triliun dari target Rp71 triliun.
“Dengan realisasi serendah ini, multiplier effect terhadap ekonomi menjadi minim,” kata Riandy.
Ia juga menyoroti target ambisius pemerintah, termasuk bauran energi baru terbarukan (EBT) 100 persen dalam 10 tahun, serta wacana menutup defisit APBN 2029 dengan Danantara. Namun, ia menilai terdapat inkonsistensi antara target dan instrumen kebijakan.
“Subsidi energi masih sangat dominan, sementara alokasi EBT hanya Rp37 triliun. Ada kesenjangan besar antara keinginan dan perbuatan,” jelasnya.
Baca Juga: 8 Program Prioritas Prabowo di RAPBN 2026, Ini Rinciannya!
Risiko lain, lanjut Riandy, adalah target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen dengan tax ratio 10,5 persen.
“Asumsi penerimaan terlalu tinggi. Jika tidak tercapai, pemerintah bisa melakukan budget cut yang justru menekan pertumbuhan,” ujarnya.
Sebagai rekomendasi, CSIS mendorong pemerintah untuk mendiversifikasi belanja agar tidak hanya bertumpu pada MBG.
Dana infrastruktur dan perjalanan dinas yang dipotong dinilai bisa dialihkan kembali agar uang lebih cepat mengalir ke masyarakat.
Selain itu, momentum politik Presiden Prabowo diminta diarahkan untuk reformasi struktural, termasuk deregulasi perdagangan, investasi, dan ketenagakerjaan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Annisa Nurfitri