Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Pajak Rakyat Bayar DPR, Tapi Aspirasi Belum Terwakili

        Pajak Rakyat Bayar DPR, Tapi Aspirasi Belum Terwakili Kredit Foto: TVR Parlemen
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Postdoctoral Associate Cornell University, Aichiro Suryo Prabowo, menyoroti ketimpangan alokasi anggaran negara yang lebih banyak menguntungkan DPR dan sektor keamanan dibanding perlindungan sosial masyarakat. Hal itu disampaikan dalam sebuah diskusi publik yang menyinggung efektivitas kinerja wakil rakyat terhadap konstituen.

        Menurut Chiro, sapaannya, pendapatan anggota DPR yang bisa mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan, atau setara 27 kali upah minimum regional (UMR), menimbulkan pertanyaan apakah imbalan tersebut sepadan dengan kinerja mereka. 

        Baca Juga: Alasan Nasdem Copot Sahroni sebagai Pimpinan Komisi III DPR

        "Yang gaji mereka siapa? Pajak kita. Yang membayar mobil mereka, membangun gedung mereka bekerja? Pajak kita," tegas Chiro.

        Tak hanya itu, dia juga menunjukkan bahwa sejak 2009 hingga 2026, anggaran DPR meningkat lima kali lipat, sementara belanja perlindungan sosial hanya naik empat kali lipat. 

        Analisis lainnya juga memperlihatkan bahwa pada 2009 anggaran Polri dan Kementerian Pertahanan setara tiga per empat belanja sosial. Namun pada 2026, anggaran dua lembaga itu diperkirakan mencapai dua kali lipat belanja sosial.

        "Data menunjukkan bahwa anggaran DPR tumbuh lebih tinggi daripada sosial. Begitu juga Polri dan Kementerian Pertahanan proporsinya lebih besar daripada perlindungan sosial," ujar Chiro. Ia menilai hal ini memperlihatkan prioritas negara belum sepenuhnya berpihak pada kebutuhan rakyat.

        Lebih jauh, Aichiro mengingatkan bahwa dalam teori penganggaran publik, anggaran bukan sekadar dokumen, melainkan bentuk kontrak antara pemilih dengan pejabat. 

        "Jika program sudah masuk APBN, maka wajib dilaksanakan. Artinya, pemilih punya hak untuk mengkritisi alokasi tersebut," katanya.

        Ia juga menyinggung praktik representasi politik di Indonesia yang dinilai masih lemah. Banyak warga tidak mengetahui siapa wakil mereka di DPR atau kebijakan apa yang sedang diperjuangkan. 

        "Di Amerika, rakyat bisa dengan mudah mengenali senatornya dan menyampaikan aspirasi. Kita juga perlu membangun mekanisme serupa agar aspirasi tersalurkan," ungkapnya.

        Sebagai penutup, Chiro mempertanyakan kemungkinan alternatif tata kelola kebijakan yang lebih berbasis data. 

        Baca Juga: Media Internasional Beritakan Demonstrasi Tolak Tunjangan DPR, 'Ini Puncak dari Frustasi Ekonomi'

        "Apakah jika teknokrat yang membuat kebijakan, hasilnya akan lebih baik? Belum tentu. Namun, ini membuka ruang diskusi tentang efektivitas perwakilan di Indonesia," pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Uswah Hasanah
        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: