Kredit Foto: Rahmat Dwi Kurniawan
Plt. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno menegaskan bahwa sistem listrik nasional masih sangat bergantung pada energi fosil, terutama batu bara, sebagai penopang utama pasokan setrum di seluruh Indonesia.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XII DPR, Tri menyatakan bahwa pembangkit berbasis batu bara masih menjadi tulang punggung operasi pembangkit 24 jam dari Sabang sampai Merauke.
"Struktur dalam sistem pembangkit kita masih menunjukkan ketergantungan pada energi fosil, khususnya batu bara yang hingga kini masih menjadi andalan baseload pembangkit beban dasar yang beroperasi 24 jam untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik nasional," papar Tri di Gedung Parlemen, Kamis (13/11/2025).
Baca Juga: Harga Batubara Turun, ITMG Tetap Catat Laba US$ 134 Juta hingga Kuartal III 2025
Tri mengakui bahwa tekanan global menuju energi bersih semakin kuat. Namun, transisi tersebut tidak bisa dilakukan secara instan mengingat posisi PLTU yang sudah lama menjadi fondasi kelistrikan nasional.
"Tapi kita tidak bisa menutup juga bahwa tuntutan dekarbonisasi semakin menguat, baik dari sisi kebijakan nasional maupun dinamika ekonomi global," tambahnya.
Merujuk bahan paparannya, kapasitas PLTU batu bara saat ini mencapai 59,07 Gigawatt (GW) atau 55,1% dari total pembangkit listrik nasional. Sementara total energi fosil termasuk PLTG, PLTGU, PLTMG, hingga PLTMGU menembus 91,76 GW atau 85,6% dari keseluruhan bauran.
Pembangkit berbahan bakar gas, lanjut Tri, menjadi unsur penting dalam menjaga keandalan kelistrikan terutama di kota-kota besar karena sifatnya yang responsif terhadap perubahan beban.
Baca Juga: Revisi Perpres 112/2022 Dinilai Buka Celah Baru Pembangunan PLTU
"Karakternya yang lebih fleksibel membuat PLTG mampu mengikuti perubahan beban berperan sebagai load follower sekaligus peaker ketika kebutuhan listrik melonjak tiba-tiba," jelasnya.
Gas juga menjadi tumpuan dalam menopang integrasi energi baru terbarukan (EBT) ke sistem karena fleksibilitasnya memungkinkan pembangkit gas menyesuaikan operasi ketika EBT variabel seperti surya dan bayu mengalami fluktuasi.
"Fleksibilitas inilah yang kelak akan menjadi semakin penting bagi penetrasi EBT variable, seperti surya dan bayu yang terus meningkat," pungkas Tri Winarno.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait: