Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Telur Bebas Sangkar Jadi Strategi Bisnis Baru, Industri Pangan Asia Tenggara Berubah Arah

        Telur Bebas Sangkar Jadi Strategi Bisnis Baru, Industri Pangan Asia Tenggara Berubah Arah Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Industri pangan di Asia Tenggara tengah memasuki babak baru. Bukan sekadar mengikuti isu kesejahteraan hewan, peralihan menuju sistem produksi telur bebas sangkar kini dipandang sebagai strategi bisnis masa depan yang menentukan daya saing perusahaan. Hal ini mengemuka dalam pertemuan para pemangku kepentingan lintas negara yang digelar di Jakarta, Minggu lalu.

        Forum yang mempertemukan pelaku usaha, pemerintah, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil dari Indonesia, Malaysia, dan Thailand tersebut sekaligus menandai peluncuran laporan terbaru berjudul “Telur Bebas Sangkar: Transisi Global Menuju Model Bisnis yang Lebih Etis dan Resilien”, yang disusun oleh Program Kesejahteraan Hewan dan Penelitian Sinergia Animal International.

        Alih-alih menempatkan isu ini semata sebagai tuntutan etika, laporan tersebut justru menyoroti peluang ekonomi dan ketahanan bisnis yang muncul dari transisi ke telur bebas sangkar mulai dari peningkatan kepercayaan konsumen, penguatan rantai pasok, hingga kesiapan menghadapi standar global yang kian ketat.

        Kepala Tim Pelaksana Kesejahteraan Hewan Kementerian Pertanian RI, Septa Walyani, menegaskan bahwa kesejahteraan hewan tak bisa dilepaskan dari keberlanjutan sistem pangan.

        Ia mengaitkan transisi ini dengan pendekatan One Health, di mana kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan saling memengaruhi.

        “Sistem produksi pangan yang etis bukan hanya soal kepedulian, tetapi juga fondasi keamanan pangan jangka panjang,” kata Septa, Rabu (17/12/2025).

        Baca Juga: Aksi Damai di CFD, Aktivis Ajak Publik Dukung Transparansi Komitmen Telur Bebas Sangkar

        Laporan tersebut memaparkan bahwa sistem kandang sangkar konvensional tidak hanya membatasi perilaku alami ayam, tetapi juga berpotensi menimbulkan risiko reputasi dan keberlanjutan bagi pelaku industri. Sebaliknya, sistem bebas sangkar dinilai mampu menghadirkan nilai tambah bagi perusahaan yang ingin bertahan dan tumbuh di tengah perubahan preferensi pasar.

        Permintaan konsumen terhadap transparansi dan standar kesejahteraan hewan yang lebih tinggi menjadi pendorong utama perubahan ini. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di negara maju, tetapi juga mulai terasa di Asia Tenggara.

        Fernanda Vieira, Direktur Program Kesejahteraan dan Penelitian Hewan sekaligus salah satu penulis laporan, mengungkapkan bahwa riset ilmiah menunjukkan dampak signifikan dari sistem bebas sangkar.

        “Transisi ke sistem bebas sangkar dapat mencegah lebih dari 7.000 jam penderitaan per ayam dibandingkan sistem sangkar konvensional. Ini bukan hanya soal etika, tetapi juga soal bagaimana industri merespons ekspektasi publik yang terus berkembang,” ujarnya.

        Diskusi lintas sektor menjadi inti pertemuan ini. Sebanyak 63 peserta dari tiga negara hadir, mewakili akademisi, pemerintah, asosiasi profesi, produsen, konsultan, hingga korporasi pengguna telur dalam skala besar.

        Luiz Mazzon, Global Program Director dari Humane Farm Animal Care (HFAC), menekankan bahwa sertifikasi internasional seperti Certified Humane® memainkan peran penting, namun bukan satu-satunya solusi.

        “Sertifikasi adalah alat komunikasi yang kuat, tetapi komitmen produsen terhadap manajemen peternakan yang berkelanjutan dan edukasi konsumen adalah kunci keberhasilan transisi,” jelasnya.

        Dari sisi produsen, CEO PT Inti Prima Satwa Sejahtera, Roby Gandawijaya, memaparkan dinamika historis peternakan unggas di Indonesia sekaligus tantangan ekonomi yang dihadapi peternak. Sementara itu, Global Food Partners melalui COO dan Co-Founder Jayasimha Nuggehalli menyajikan pendekatan praktis agar transisi dapat dilakukan secara bertahap dan realistis.

        Salah satu sorotan menarik datang dari Novotel Jakarta Cikini. Hotel ini membagikan pengalaman nyata dalam mengadopsi telur bebas sangkar dan menargetkan 100 persen penggunaan pada 2026.

        Pengalaman tersebut menunjukkan bahwa komitmen terhadap kesejahteraan hewan tidak menghambat operasional bisnis, justru memperkuat citra merek dan kepercayaan konsumen dua aset penting dalam industri perhotelan dan kuliner.

        Pemimpin Proyek White Paper Sinergia Animal, Aisah Nurul Fitri, menyampaikan bahwa tujuan utama laporan ini adalah mempercepat adopsi sistem bebas sangkar di kawasan.

        “Pasar sudah bergerak. Perubahan ini bukan lagi wacana, melainkan keniscayaan. Melalui kolaborasi lintas sektor, kami ingin menunjukkan bahwa transisi ini sangat mungkin dilakukan,” ujarnya.

        Diskusi penutup menyoroti tantangan teknis, ilmiah, dan ekonomi yang masih harus dihadapi. Namun, para peserta sepakat bahwa kolaborasi menjadi kunci agar tren bebas sangkar dapat tumbuh secara berkelanjutan di Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

        Direktur Program Advokasi Kesejahteraan Hewan Animal Friends Jogja, Elly Mangunsong, menegaskan bahwa perubahan ini tidak terelakkan.

        “Cepat atau lambat, penggunaan sangkar akan berakhir. Dengan komitmen bersama antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, kita bisa membangun sistem pangan yang lebih adil, aman, dan berkelanjutan,” pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: