Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Satu Dekade Audit BPK Dorong Penguatan Efisiensi dan Tata Kelola Digital Pendidikan

        Satu Dekade Audit BPK Dorong Penguatan Efisiensi dan Tata Kelola Digital Pendidikan Kredit Foto: Antara/Aprillio Akbar
        Warta Ekonomi, Bandung -

        Selama satu dekade terakhir, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI secara konsisten mengingatkan adanya kebocoran serius dalam program digitalisasi pendidikan dan layanan publik.

        Sejak sekitar 2014, BPK berulang kali mencatat pola yang sama dalam proyek teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yakni perencanaan yang tidak berbasis kebutuhan nyata, spesifikasi yang dikunci pada merek atau platform tertentu, biaya layanan dan lisensi yang tidak transparan, aset yang menganggur atau rusak dini, serta lemahnya pengawasan dan minimnya evaluasi manfaat.

        Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus, menegaskan temuan tersebut, muncul berulang dalam berbagai pengadaan TIK Kemendikbud di sejumlah tahun anggaran, mulai dari program laboratorium komputer sekolah, sistem pembelajaran daring kementerian dan lembaga, hingga proyek e-government dan cloud pemerintah.

        “Rekomendasi BPK hampir selalu sama yaitu ‘perbaiki perencanaan berbasis kebutuhan, hindari penguncian spesifikasi, dan pastikan value for money.’ Namun satu dekade berlalu, pola itu tidak berubah!” tegas Iskandar Minggu (21/12/2025).

        Ia menilai, Chromebook hanyalah manifestasi paling mahal dan paling berani dari masalah lama yang terus berulang. Chromebook berikut Chrome Device Management (CDM) atau Chrome Education Upgrade (CEU) dipandang bukan sekadar soal pilihan laptop, melainkan soal penyerahan kendali sistem pembelajaran kepada satu ekosistem tertutup.

        “Masalah utama Chromebook bukan pada perangkatnya, melainkan pada ekosistem yang mengikatnya!” ujarnya.

        Penegasan Kejaksaan Agung (Kejagung) yang menyatakan CDM/CEU bukan biaya tambahan biasa, melainkan bagian dari konstruksi tindak pidana dan komponen kerugian negara, dianggap sangat krusial. Pernyataan itu membuka fakta yang selama ini tersamarkan: negara tidak hanya membeli laptop, negara dipaksa membeli izin untuk mengelola laptop tersebut, tanpa lisensi perangkat tidak berfungsi optimal, dan lisensi itu melekat pada satu ekosistem tertutup.

        Baca Juga: Perpres 113/2025 Ubah Skema Pupuk Subsidi, Jadi Jawaban Atas Temuan Inefisiensi BPK

        “Inilah yang dalam audit dan hukum persaingan disebut vendor lock-in yang diciptakan melalui kebijakan publik,” katanya.

        Ia mengingatkan, BPK dalam banyak Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) sebelumnya telah berulang kali memperingatkan bahaya ketergantungan sistem, mulai dari beban biaya berulang hingga hilangnya kedaulatan teknologi. Namun peringatan tersebut kembali diabaikan.

        Berdasarkan rangkaian temuan BPK dan konstruksi penyidikan Kejagung, IAW menilai modus yang terjadi tidak lagi sekadar kesalahan administrasi, melainkan telah naik kelas menjadi kejahatan korporasi. Indikasinya terlihat dari kebutuhan yang direkayasa, bukan dinilai secara objektif. Kajian teknis awal disebut tidak mengarah pada penggunaan Chromebook, namun spesifikasi kemudian diubah.

        “Ini persis dengan temuan BPK bertahun-tahun, yakni spesifikasi disesuaikan dengan produk, bukan kebutuhan pengguna. Di daerah dengan internet terbatas, Chromebook dipaksakan. Masalah diciptakan, lalu dijual solusinya,” ujarnya.

        Selain itu, lisensi dinilai dijadikan gerbang rente. Skema CDM/CEU membuat serial number menjadi alat kontrol, menjadikan aktivasi sebagai titik monopoli, serta membuat sekolah kehilangan kendali atas aset yang seharusnya menjadi milik negara.

        “BPK dalam berbagai LHP menyebut pola ini sebagai pemborosan akibat desain sistem yang tidak memberikan fleksibilitas dan efisiensi. Dalam konteks Chromebook, desain itu justru menguntungkan korporasi tertentu secara sistemik,” jelasnya. 

        Lebih jauh, platform negara juga dinilai dimanfaatkan sebagai etalase legitimasi transaksi melalui SIPLah. Meski tampak bersih secara prosedural, BPK disebut telah lama mengingatkan bahwa platform pengadaan tidak otomatis menjamin persaingan sehat apabila spesifikasi sudah dikunci sejak awal.

        Baca Juga: IAW Dorong BPK Optimalkan Peran Strategis Demi Perbaikan Tata Kelola Keuangan Negara

        “Negara hanya mengurusi kasir dan pasarnya sudah diatur sebelumnya,” ujarnya. 

        Iskandar menekankan bahwa kerangka hukum Indonesia sejatinya telah mengantisipasi kejahatan modern semacam ini. Pasal 20 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menyebut korporasi dapat dipidana apabila memperoleh keuntungan, menyebabkan kerugian negara, dan perbuatan dilakukan untuk kepentingan korporasi. Selain itu, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016 membuka jalan untuk penyitaan aset korporasi, penjatuhan denda besar, hingga pencabutan izin usaha.

        “BPK dalam 10 tahun terakhir telah menyediakan peta masalah; mengukur kerugian dan memberi rekomendasi. Kini bola ada di tangan penegak hukum, dalam hal ini Kejaksaan Agung,” katanya.

        IAW menilai, dalam rantai nilai Chromebook terdapat pemilik platform, gatekeeper lisensi, integrator, marketplace, hingga pabrikan yang sama-sama menikmati manfaat ekonomi dan beroperasi dalam satu desain kebijakan. Jika penegakan hukum hanya menyasar individu, sementara korporasi dibiarkan, maka model bisnis yang bermasalah akan tetap bertahan.

        “BPK sudah cukup lama menunjukkan kerugian negara sering terjadi karena desain kebijakan yang dikendalikan vendor. Itulah definisi kejahatan korporasi modern,” ujarnya. 

        Iskandar menegaskan bahwa pendidikan bukan ladang rente dan audit tidak boleh berhenti sebagai formalitas. Kasus Chromebook, menurutnya, merupakan salinan akumulatif dari peringatan BPK selama satu dekade yang tidak pernah sungguh-sungguh didengar, sementara pandemi hanya membuka celah lebih lebar.

        Jika penegakan hukum berhenti pada aspek prosedural, teknis, atau sekadar individu, maka pola serupa dipastikan akan terulang. IAW berpandangan bahwa penyidikan korporasi secara menyeluruh bukanlah pilihan politis, melainkan kewajiban hukum.

        “Karena ketika pendidikan dijadikan pasar, dan anak-anak dijadikan alasan, negara tidak boleh kalah oleh desain bisnis! Dan hukum, jika masih berpihak pada kedaulatan, harus membuktikannya sekarang,” pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Rahmat Saepulloh
        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel: