Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Membaca Potensi Bisnis 'Consumer Durable' di Indonesia

Warta Ekonomi -

WE Online, Jakarta - Meskipun ekonomi Indonesia sedang terpuruk lantaran pertumbuhan ekonomi yang terus mengalami penurunan, ada beberapa industri yang tumbuh dengan baik. Salah satunya, bisnis kredit consumer durable goods.

Beberapa industri terdampak merosotnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Contohnya, industri properti dan otomotif yang terus mengalami kelesuan sejak beberapa tahun belakangan. Melihat fakta-fakta tersebut, wajar saja jika tidak sedikit pihak yang mengatakan ekonomi Indonesia memang sedang terpuruk.

Kondisinya juga diperparah dengan nilai tukar rupiah yang tidak stabil dan cenderung melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Namun, jika dilihat dari sisi lain, ternyata masih ada beberapa industri yang tumbuh lebih baik dari pertumbuhan ekonomi. Salah satunya adalah bisnis kredit consumer durable goods, yakni barang-barang konsumsi yang tidak cepat "basi" seperti smartphone, laptop, dan perabot rumah tangga. Bisnis ini mengalami pertumbuhan 10%-15%, jauh di atas pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,8% pada 2015.

Kondisi ekonomi di Indonesia bahkan dinilai masih lebih menjanjikan dibanding beberapa negara lain. Pandangan ini setidaknya muncul dari beberapa pelaku bisnis dari negara lain yang ingin masuk ke Indonesia. Bahkan yang telah masuk pun kemudian ingin memperluas pasarnya.

Salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan khusus consumer durable goods adalah Home Credit Indonesia. Perusahaan asal Republik Ceko ini memulai bisnisnya di Indonesia sejak 2013 lalu. Tiga tahun berjalan, perusahaan tak merasakan hal buruk terjadi akibat kondisi ekonomi Indonesia yang kurang menggembirakan. Perusahaan ini bahkan sedang mempersiapkan ekspansi untuk perluasan pasar hingga ke lebih banyak provinsi di Indonesia.

Berkenaan dengan kondisi makroekonomi Indonesia, CEO Home Credit Jaroslav Gaisler mengatakan, melihat fakta pertumbuhan ekonomi yang masih berkisar 5%, bagi negara lain angka itu sudah sangat bagus. Selain itu, lanjutnya, fluktuasi nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ternyata juga tidak berpengaruh terhadap permintaan barang-barang jenis ini.

Sebelum masuk ke Indonesia dan Asia, ungkap Gaisler, pasar terbesar Home Credit adalah Rusia dan beberapa negara Eropa Timur. Namun, semenjak pertumbuhan ekonomi negara-negara tersebut terus menurun, Home Credit mulai mengembangkan bisnisnya di negara-negara Asia yang memiliki pertumbuhan lebih baik. Negara-negara Asia yang menjadi target adalah Tiongkok, India, Filipina, Vietnam, dan Indonesia.

Pertimbangan lainnya untuk tidak ragu memasuki pasar negara-negara Asia adalah potensi pasarnya yang sangat besar. Tiongkok dan India, misalnya, merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Kedua negara tersebut memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih besar dibandingkan dengan negara Ceko sendiri.

"Jumlah penduduk Ceko hanya 10 juta jiwa, kurang lebih sama dengan jumlah penduduk Jakarta saja," ungkapnya.

Prospek Bisnis

Di balik lesunya industri properti dan otomotif, ternyata ada perilaku masyarakat yang cenderung menunda untuk memenuhi kebutuhan dengan investasi besar. Namun, di sisi lain, masyarakat tidak dapat menahan dari membelanjakan uangnya untuk barang konsumsi dengan nilai yang kecil. Pertimbangan lainnya, produk tersebut merupakan barang sekunder untuk menunjang pekerjaan kantor dan rumah tangga.

Kita tahu, saat ini dunia sedang memasuki era teknologi informasi (TI) di mana perkembangan teknologi sangat cepat seiring terus meningkatnya kebutuhan akan teknologi itu sendiri. Salah satunya adalah gadget seperti smartphone, tablet, dan laptop, teknologi penunjang TI yang makin praktis dan dapat dibawa ke mana pun. Produk lainnya yang tidak kalah marak adalah produk home appliance seperti AC, kulkas, furnitur, dan lain-lain. Harga produknya berkisar Rp2 juta hingga Rp15 juta per unit.

Uniknya lagi, kendati harganya cukup terjangkau masih banyak masyarakat yang ingin membelinya dengan cara dicicil atau kredit. Dengan dicicil, masyarakat hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp200.000 hingga Rp500.000 per bulan untuk harga tersebut dalam jangka minimal satu tahun, dan ini dianggap tidak memberatkan.

Ya, cara paling mudah untuk membeli adalah dengan cara kredit, apalagi saat ini penggunaan kartu kredit kebanyakan untuk membeli barang-barang konsumsi. Meski demikian, di Indonesia sendiri penetrasi kartu kredit masih sangat kecil, hanya 13,5%, jika dilihat dari jumlah kartu kredit pada Januari 2016 yang sebanyak 16,8 juta kartu, dibandingkan jumlah kelas menengah ke atas sebagai pasar yang sedikitnya mencapai 125 juta jiwa.

Kebiasaan membeli barang dengan dicicil tidak hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kartu kredit. Masyarakat yang tidak memiliki akses bank juga ingin membeli produk dengan cara ini. Hal ini menjadi peluang besar bagi perusahaan pembiayaan atau multifinance untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Itulah alasannya mengapa Home Credit hanya fokus pada produk durable goods kecuali mobil dan sepeda motor. Menurut Gaisler, tren produk ini mengikuti pertumbuhan penduduk, makin besar penduduk berarti pasarnya pun makin besar. Khusus untuk home appliance, makin banyak keluarga baru berarti makin banyak yang membutuhkan produk-produk ini. "Nilai pembiayaan kecil, antara Rp3 juta-Rp5 juta, tetapi jumlahnya sangat banyak, karena itulah yang dibutuhkan masyarakat saat ini," kata Gaisler.

Lebih lanjut Gaisler menjelaskan, tren consumer durable dapat dilihat dari life cycle atau masa pakai barang-barang yang menjadi komoditas home credit. Menurut dia, sebuah HP dan tablet masa pakainya hanya 1,0 tahun atau 1,5 tahun, sementara alat rumah tangga masa pakainya lebih lama. Jika dilihat dari persentase pembiayaannya, gadget ternyata juga lebih tinggi, mencapai 69%, sementara alat rumah tangga hanya 31%.

Melihat data pembiayaan di Home Credit selama tiga tahun berbisnis di Indonesia, ada tiga jenis produk yang dibiayai, yakni produk elektronik, furnitur, dan gadget. Masing-masing menunjukkan tren terus berubah. Dari tiga jenis produk tersebut, gadget memiliki persentase paling besar, di atas 80%, yang kedua elektronik di atas 10%, dan terendah furnitur, paling tinggi 2%.

Dari data ini dapat dilihat bahwa gadget masih menjadi produk paling diminati, elektronik cukup diminati, dan furnitur meskipun kecil tetapi tetap ada (lihat, Perkembangan Pembiayaan).

Selama tiga tahun berdiri di Indonesia, perusahaan juga terus mencatatkan pertumbuhan positif. Pada 2014 nilai pembiayaan yang disalurkan sebesar Rp149 miliar, lalu pada 2015 meningkat menjadi Rp530 miliar. Untuk tahun 2016 ini, pada kuartal pertama, perusahaan telah menyalurkan pembiayaan sebesar Rp300 miliar. "Akhir tahun perusahaan menargetkan menyalurkan pembiayaan hingga Rp1,5 triliun," ungkap Gaisler.

Memperluas Pasar

Prospek bisnis pembiayaan di industri ini juga menarik jika dilihat dari banyaknya pemain. Di Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, selain Home Credit, ada beberapa perusahaan pembiayaan yang juga fokus pada jenis produk consumer durable, semakin banyak.

Gaisler mengakui, bisnis apa pun, termasuk bisnis ini, memiliki kompetitor yang selalu mengamati apa yang dilakukan oleh pelaku bisnis lainnya. Hal yang harus dilakukan untuk memenangkan persaingan adalah selalu berinovasi baik dari sisi produk maupun dari sisi pelayanan terhadap customer. Untuk memenangkan persaingan, Home Credit ingin memastikan bahwa mereka selalu di depan, bukan hanya satu langkah tetapi mungkin juga dua langkah dari kompetitor.

"Pasti akan ada kompetitor yang mengikuti apa yang kita lakukan, bagaimana kita bisa memberikan layanan yang cepat, praktis, dan mudah," katanya.

Chief External Affairs Home Credit Andy Nahil Gultom menambahkan, beberapa inovasi yang dilakukan Home Credit adalah memperluas pasar. Jika selama ini hanya fokus pada Tier 1 yakni Jabodetabek, Bandung, Surabaya, Makassar, Semarang, dan Yogyakarta, selanjutnya Home Credit juga akan mulai merambah kota-kota Tier 2 yaitu Banjarmasin, Denpasar, Medan, Palembang, dan Lampung, yang ditargetkan mulai beroperasi tahun ini.

Selain memperluas pasar, Home Credit juga melakukan skill up business dengan kerja sama menambah ritel atau partner. Beberapa partner yang sudah bekerja sama, di antaranya, Erafone, Global, Oke, Electronic City, IKEA, Lotte Mart, dan Hypermart. Peritel-peritel tersebut sejauh ini sudah punya cabang di setiap kota. Namun, untuk memperluas kerja sama dan memperbanyak produk pilihan, Home Credit juga akan bekerja sama dengan peritel terkemuka di masing-masing kota.

"Tidak tertutup kemungkinan dengan peritel internasional, juga dengan peritel lokal yang memiliki pangsa pasar yang bagus. Misalnya, di Surabaya bekerja sama dengan Hartono Elektronik, kalau di Makassar ada Alaska. Ini akan terealisasi dalam waktu dekat," pungkas Andy.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: