Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menimbang Dampak Implementasi UU PPKSK

Warta Ekonomi, Jakarta -

Dana Moneter Internasional (IMF) menilai pemerintah Indonesia bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebaiknya segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK) untuk mendukung stabilitas sektor keuangan.

Kepala Misi IMF untuk Indonesia, Luis E. Breuer, mengatakan lanskap ekonomi dunia saat ini berubah. Seperti banyak negara berkembang, Indonesia dinilainya menghadapi tekanan dari pergeseran ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dan penyesuaian di Tiongkok, pelemahan harga komoditas, dan awal normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat menjadi faktornya.

Menurut IMF, pergeseran ini telah berdampak pada perekonomian Indonesia melalui tiga jalur utama, yaitu harga komoditas, perdagangan, dan arus modal. Jalur tersebut telah menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di beberapa tahun terakhir, dari tingkat tinggi selama terjadi booming harga komoditas di tahun-tahun sebelumnya.

Akibatnya, tingkat risiko dan kerentanan menanjak. Pendapatan pemerintah, salah satunya dari pendapatan minyak, telah turun secara signifikan. Investasi asing langsung dan portofolio arus dana masuk telah melambat karena selera investor asing terhadap aset negara berkembang secara umum telah melemah.

Bahkan hal itu terlihat saat arus modal masuk ke Indonesia yang sejak awal tahun 2016 lebih menguntungkan daripada negara lain di regional Asia. Sementara, meskipun berasal dari tingkat yang rendah, pinjaman perusahaan dalam mata uang asing telah meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Padahal kinerja perusahaan tercatat agak melemah dan tingkat kredit bermasalah bank mulai meningkat.

Meskipun demikian, di sisi lain IMF menilai Indonesia memiliki pengalaman yang luas dalam menangani turbulensi, karena mampu melewati krisis keuangan global dan ‘taper tantrum’ di tahun 2013 silam.

Penyesuaian ekonomi dalam negeri untuk mengikuti perubahan ekonomi dunia didukung dengan dengan kebijakan yang sehat, termasuk nilai tukar dan imbal hasil obligasi pemerintah yang fleksibel, serta cadangan devisa yang cukup, memampukan perekonomian bertumbuh pada level 4,79% tahun lalu. Indonesia dinilai lebih mampu menangani berbagai jenis turbulensi ini dibandingkan pada masa lalu.

Meskipun demikian, Indonesia perlu mengelola risiko jangka pendek dan, pada saat yang sama, meningkatkan potensi pertumbuhan di jangka menengah. Di sisi fiskal, pemerintah perlu meningkatkan pendapatan guna menciptakan ruang untuk infrastruktur dan belanja prioritas lainnya seperti program sosial yang ditargetkan.

Investasi publik yang lebih tinggi harus dikombinasikan dengan manajemen keuangan publik yang baik dan reformasi tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta pemantauan risiko fiskal potensial. Selain itu, sangat penting untuk mempertahankan nilai tukar yang fleksibel dan imbal hasil obligasi pemerintah yang ditentukan oleh pasar. Hal itu untuk menavigasi kondisi keuangan eksternal yang bergejolak.

Indonesia juga perlu terus melakukan diversifikasi ekonominya dari ketergantungan pada komoditas menjadi ke sektor manufaktur, pertanian, dan jasa, serta menghasilkan sumber-sumber baru pertumbuhan ekonomi. Tak lupa IMF menekankan perlunya penetapan UU JPSK dengan cepat untuk mendukung stabilitas sektor keuangan dan menjaga kepercayaan pasar.

Urgensi UU PPKSK

Merespon hal ini, pada akhirnya pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengajukan usulan baru dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) atau sebelumnya disebut RUU JPSK.

Dari berkali-kali pertemuan, akhirnya pada 18 Maret 2016 lalu, pemerintah bersama DPR sepakat menyetujui RUU PPKSK menjadi UU PPKSK. Dengan demikian, setidaknya mulai 18 April 2016 Indonesia sudah memiliki UU PPKSK yang selama ini didambakan oleh pemerintah, otoritas keuangan dan pelaku industri keuangan.

Latarbelakang dan maksud tujuan hadirnya UU PPKSK ada dua. Pertama, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mendukung perekonomian nasional melalui pelaksanaan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, diperlukan stabilitas sistem keuangan yang kokoh.

Kedua, untuk mewujudkan stabilitas sistem keuangan yang kokoh guna menghadapi ancaman, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, diperlukan upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.

Dalam hal ini, definisi dari Sistem Keuangan adalah sistem yang terdiri atas lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran, yang berinteraksi dalam memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan pengalokasiannya untuk mendukung aktivitas perekonomian nasional.

Sedangkan definisi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) adalah kondisi Sistem Keuangan yang berfungsi efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri.

Suatu sistem keuangan yang stabil akan memberikan manfaat nyata. Pertama, menciptakan kepercayaan dan lingkungan yang mendukung bagi nasabah penyimpan & investor untuk menanamkan dananya pada lembaga keuangan, termasuk menjamin kepentingan masyarakat terutama nasabah kecil.

Kedua, mendorong fungsi intermediasi keuangan yang efisien sehingga pada akhirnya mendorong investasi dan  pertumbuhan ekonomi.  Ketiga, mendorong beroperasinya pasar dan memperbaiki alokasi sumber daya perekonomian.

Dalam hal ini, para pihak yang berperan dan bertanggung jawab atas SSK adalah Otoritas keuangan (pemerintah, bank sentral, pengawasn jasa keuangan, lembaga penjamin simpanan); pelaku keuangan (bank, pasar modal, industri keuangan nonbank/IKNB); dan publik, khususnya pengguna jasa keuangan.

Lalu definisi dari Krisis Sistem Keuangan adalah kondisi Sistem Keuangan yang gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dan efisien, yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan.

Terakhir, definisi dari Bank Sistemik adalah Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan Bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.

Diubahnya UU JPSK menjadi UU PPKSK dengan pertimbangan untuk mempertegas konsep bail in, yang lebih bertumpu pada optimalisasi pencegahan terhadap perbankan yang bermasalah, bahkan sebelum krisis sistem keuangan terjadi. Juga karena banyak pengalaman bail out yang tidak berujung baik, sebab dugaan adanya motif yang tidak baik (moral hazard) dari pelaku industri keuangan, maka program penyelamatan diarahkan ke sistem bail in.

Dengan konsep ini, pencegahan ditekankan pada tanggung jawab terhadap pemilik bank agar menyiapkan solusi atas permasalahan yang dihadapi banknya. Bila itu adalah masalah likuiditas, maka pemilik harus segera menyuntik bank dengan seluruh dana yang dimiliki. Sementara OJK akan menjadi pengawasnya.

Kemudian, aturan tersebut juga tidak memberikan ruang bagi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) digunakan untuk menyelamatkan bank, walaupun konsep awalnya hanya dipinjamkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pemerintah tidak ingin APBN terekspos terhadap permasalah krisis sistem keuangan, sehingga UU PPKSK tidak mencantumkan APBN sebagai sumber pendanaan.

Jadi, itulah beberapa aspek yang menjadi dasar pemerintah melakukan perubahan di beberapa pasal. Akan tetapi, dalam kondisi yang sangat darurat, dilakukan rapat Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), bukan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) seperti dulu, untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden.

KSSK membuat analisis, kemudian hasil analisis beserta usulan atau rekomendasi disampaikan kepada Presiden untuk menetapkan keputusan, yakni menetapkan terjadi atau tidak krisis sistem keuangan beserta langkah-langkah selanjutnya. Jadi, pengambil keputusan tertinggi dan terakhir bukan KSSK, melainkan Presiden.

Kalau kondisinya sudah begitu berat, tentunya Presiden harus menetapkan langkah penanganan krisis yang sudah disiapkan. Memang Presiden punya kewenangan untuk mengambil langkah diperlukan saat kondisi darurat. Dalam hal ini Presiden bisa menolak atau menerima usulan dan rekomendasi KSSK.

Dalam UU PPKSK disebutkan, pemerintah bisa terlibat dalam penanganan bank bermasalah dengan dua cara. Pertama, memberikan penjaminan atas pinjaman yang dilakukan LPS. Peran LPS dalam sistem anti krisis ini sebagai lembaga penyelenggara restrukturisasi perbankan.

Jadi, LPS yang secara langsung memberikan bantuan tambahan modal kepada bank yang berdampak sistemik. Program Restrukturisasi Perbankan adalah program yang diselenggarakan untuk menangani permasalahan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.

Kedua, pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS. Caranya, dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN), yang kemudian dibeli oleh Bank Indonesia (BI). Menurut pemerintah, cara ini akan aman bagi keuangan negara, karena bentuknya pinjaman sehingga suatu ketika harus dikembalikan ke negara.

Dalam hal ini skema ini berbeda dengan bail out karena tidak ada potensi kerugian negara karena, sebut saja, uang hilang. Sebab, LPS akan mengembalikan dana pinjaman tersebut. Namun, keterlibatan pemerintah ini baru akan dilakukan jika kondisi benar-benar krisis dan kemampuan keuangan LPS sudah tidak cukup untuk menyuntikkan modal. Sebelum kondisi tersebut benar-benar terjadi, pemerintah akan mengandalkan skema bail in.

Dalam skema bail in ini, LPS akan memaksimalkan pendanaan perbankan yang bersangkutan. Misalnya, dari modal perusahaan dan pemilik perusahaan. Jika aset perusahaan dan pemilik belum cukup, maka LPS akan memberikan bantuan dengan dana kelolaan yang dimilikinya.

Sebagai catatan, saat ini dana kelolaan LPS mencapai Rp67 triliun. Jadi, kalau dana suntikan yang diperlukan di bawah nilai itu, maka tidak perlu menggunakan dana pemerintah. Maka, jika tidak cukup pun tidak akan langsung mengajukan pinjaman ke pemerintah. Tetapi LPS masih bisa menerbitkan surat utang dan dijual kepada BI.

Penulis: Ryan Kiryanto (Pengamat Ekonomi)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Arif Hatta

Advertisement

Bagikan Artikel: