Akademisi politik Universitas Brawijaya Malang, Fajar Shodiq Ramadlan berpendapat bahwa pergantian seorang menteri, bukan hanya menyangkut pencapaian kerjanya saja, melainkan juga berkaitan dengan dukungan politik.
"Seorang menteri diganti, bukan soal capaian kerja saja tetapi juga berkaitan dengan dukungan politik. Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pasti mempertimbangkan risiko dan untung rugi pergantian menteri, contohnya dampak secara politis dan teknis," Ujar Fajar dalam wawancaranya dengan Antara , Rabu (3/8/2016), ketika mengomentari perombakan kabinet yang diumumkan baru-baru ini.
Dalam Kabinet Kerja, kini sudah terdapat wakil Partai Golkar yaitu Airlangga Hartarto dan Asman Abnur dari PAN.
Dampak secara politis tersebut menurut Fajar, apakah berkaitan dengan dukungan partai dan ormas atau tidak. Sedangkan dampak teknis, yaitu capaian kerja, kelanjutan program, dan perlembagaan terkait program.
Fajar berpendapat ada beberapa hal yang harus diperhatikan, pertama perombakan kabinet (reshuffle) adalah hak prerogratif presiden. Kedua, setidaknya ada dua pertimbangan reshuffle, yakni pertimbangan politis dan prestasi kerja.
"Dalam sejarahnya, meski sistem presidensial digunakan di Indonesia, tidak ada satu pun presiden pascareformasi yang mengabaikan aspek politis dalam membentuk kabinet. Pada kabinet SBY-Budiono saja, setidaknya 60 persen kabinet diisi oleh menteri berlatar belakang partai. Untuk reshuffle kabinet Jokowi-JK kali ini, setidaknya 50 persen menteri berlatarbelakang dari partai politik," kata Fajar.
Hal itu dianggap wajar, mengingat sistem politik dan pemerintahan Indonesia memaksa presiden harus bernegosiasi dengan banyak partai agar "aman" selama menjabat. Meskipun, hal ini bisa dilihat sangat pragmatis.
Berdasarkan pengumuman Presiden Jokowi pada 27 Juli, inilah hasil reshuffle Kabinet Kerja jilid II: 1. Menteri Perdagangan: Thomas Lembong digantikan Enggartiasto Lukita 2. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: Anies Baswedan digantikan Muhadjir Effendy 3. Menteri Keuangan: Bambang Brodjonegoro digantikan Sri Mulyani Indrawati 4. Menko Kemaritiman: Rizal Ramli digantikan Luhut Binsar Pandjaitan 5. Menko Polhukam: Luhut Binsar Pandjaitan digantikan Wiranto 6. Menteri Agraria dan Tata Ruang: Ferry Mursidan digantikan Sofyan Djalil 7. Menteri Desa dan PDTT: Marwan Jafar digantikan Eko Putro Sandjojo 8. Menteri Perhubungan: Ignatuis Jonan digantikan Budi Karya Sumadi 9. Menteri PPN/Kepala Bappenas: Sofyan Jalil digantikan Bambang Brodjonegoro 10. Kepala BKPM: Franky Sibarani digantikan Thomas Lembong 11. Menteri Perindustrian: Saleh Husin digantikan Airlangga Hartarto 12. Menteri ESDM: Sudirman Said digantikan Archandra Tahar 13. Men PAN-RB: Yuddy Chrisnandi digantikan Asman Abnur Dalam pengamatannya, Fajar menganggap masuknya Sri Mulyani memberi daya tarik sendiri juga cukup kontroversial. Dari sisi kemampuan, Sri Mulyani mempunyai sejarah pengalaman yang bagus dalam capaian ekonomi, karena sempat menjabat sebagai menteri keuangan dan direktur eksekutif Bank Dunia. Tetapi dari sisi politik, merekrut Sri Mulyani cukup riskan mengingat ia pernah dikaitkan dengan dugaan kasus di masa lalu. Bagi kelompok oposisi, hal ini bisa jadi salah satu kritik terhadap Jokowi-JK.
Jangan Lagi Korupsi Menurut Fajar, ada banyak pekerjaan besar yang perlu diselesaikan. Pertama, optimalisasi pembangunan dan pemerataan pembangunan, serta stabilitas ekonomi baik pada ekonomi makro atau riil. Kedua, pengentasan kemiskinan dengan program-program strategis dan tepat sasaran. Ketiga, penataan kelembagaan negara terkait dengan reformasi birokrasi. Keempat, Penegakan HAM yang hingga saat ini menjadi sorotan tajam. Kelima, peningkatan pendidikan, khususnya daya saing sumber daya manusia.
Dia berharap untuk jajaran menteri yang baru agar dapat mewujudkan program-program strategis dan harus ditata dengan baik, bukan dimanfaatkan sebagai lahan pengeruk keuntungan pribadi dan kelompok.
"Apalagi jika program tersebut berkaitan dengan pemerataan pembangunan. Belajar dari kabinet yang lalu, beberapa menteri akhirnya terjerat korupsi salah satunya dipicu untuk mengeruk keuntungan ekonomi politik. Jokowi-JK harus menjaga betul agar tidak terulang lagi masalah-masalah yang sama." ucap Fajar.
Andi Alifian Mallarangeng merupakan mantan menteri pemuda dan olah raga (menpora) pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang tersandung kasus korupsi. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement