Krisis moneter alias krismon yang melanda Indonesia pada 1997-1998 merupakan momok bagi para pelaku usaha di seluruh bidang. Banyak pengusaha, baik yang berskala besar maupun kecil terpaksa gulung tikar.
Muhammad Yusuf Madeamin, peternak ayam asal Sulawesi Selatan, berbagi cerita ihwal jatuh bangun mempertahankan bisnis unggasnya tatkala itu. Beruntung, usahanya tidak sampai bangkrut berkat strategi efisiensi pemasaran.
Yusuf menuturkan bahwa sebelum krismon, bisnis unggas di Sulsel mulanya diisi oleh sejumlah perusahaan lokal di antaranya PT Mitra Bawakaraeng, PT Belawa Satwa Raya, dan sejumlah perusahaan lainnya. Namun, perusahaan-perusahaan tersebut berguguran tatkala krismon menghantam Tanah Air. Tersisa dua perusahaan yang berafiliasi dengan asing yang mampu bertahan di Sulsel yakni PT Japfa Comfeed dan Charoen Pokphand.
Tatkala krismon terjadi, bisnis unggas Yusuf yang masih berbentuk UD Inti Tani Utama ikut terpukul. Bahkan, ia terpaksa menerapkan jual rugi ke pasaran demi menjaga kepercayaan pasar. Strategi efisiensi pemasaran dijalankannya selama beberapa bulan.
"Saya putuskan mengurangi volume (pemasaran) 20 persen dan itu terpaksa jual rugi. Kondisinya sangat sulit," kata Yusuf kepada Warta Ekonomi di Makassar, Sabtu?(11/3/2017).
Yusuf mengaku dilematis dalam menjalankan bisnis unggas tatkala krismon. Tidak mungkin untuk jor-joran melakukan produksi mengingat harga pakan meroket imbas kenaikan dollar atas rupiah dari Rp2.400 menjadi Rp16 ribu. Biaya operasional pun melonjak signifikan mengingat harga pakan ikut terdongkrak dari Rp500 per kilogram menjadi Rp2.500 per kilogram. Namun, ia tetap melakukan penjualan meski rugi demi menjaga kepercayaan konsumen dan pabrikan.
Buah dari kesabaran yang didukung strategi pemasaran yang jitu, Yusuf berhasil melewati ujian tatkala krismon melanda. Perlahan tapi pasti dengan didukung kepercayaan dari pasar, bisnis unggas Yusuf melejit. Ia semakin mendapat kepercayaan dari perbankan maupun pabrik untuk mengembangkan bisnis unggasnya. Jangkauan pemasaran pun diperluasnya tidak hanya di Sulawesi Selatan, tapi juga ekspansi ke Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Omzet bisnisnya pun terkatrol menembus angka miliaran rupiah.
Terhitung dua tahun lalu, Yusuf akhirnya mengubah skala bisnis unggasnya dari UD Inti Tani Utama menjadi PT Inti Tani Satwa. Pria berdarah Bugis itu juga mulai mempekerjakan tenaga profesional. Saat ini tercatat ada delapan pegawai tetap ditambah 60-an pegawai kontrak yang dipekerjakannya. Itu belum termasuk jejaring pedagang perantara alias bakul yang menjadi ujung tombak pemasaran usahanya. Bisnis unggasnya juga dibantu oleh lima dari sembilan anaknya.
Ia?mengatakan pihaknya akan terus melakukan pengembangan bisnis dengan dibantu anak-anaknya yang memang mengambil pendidikan di bidang tersebut. Selain bercita-cita membangun pabrik untuk pengembangan bisnis unggas, pihaknya berharap generasi keduanya dapat melakukan ekspansi ke Pulau Jawa. Yusuf mengaku pernah mencoba melebarkan bisnis unggasnya ke Jawa Barat, tapi gagal bersaing.
"Selain tiga provinsi di Sulsel, sebenarnya saya pernah membuka cabang di Jawa Barat. Tapi rugi Rp800 juta sehingga tidak dilanjutkan. Kini saya siapkan salah seorang anak yang memang sudah 12 tahun di Jawa untuk melakukan ekspansi mengingat 80 persen pasar unggas nasional berada di Jawa," kata alumnus Jurusan Sejarah dan Arkeologi Universitas Hasanuddin itu.
Yusuf melanjutkan prospek bisnis unggas khususnya di Sulsel masih cukup menjanjikan. Sayangnya, belum banyak generasi muda, khususnya pribumi yang melirik bisnis tersebut. Makanya, Yusuf yang merupakan Ketua Forum Komunikasi Peternak Broiler (FKPB) mengaku terus mendorong dan mengajak generasi muda terjun ke bisnis unggas. Diharapkannya pula pemerintah maupun perbankan memberikan kemudahan dalam akses modal pendanaan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tri Yari Kurniawan
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement