Layanan pesan terenkripsi Telegram akan menutup saluran publik "yang terkait dengan terorisme", ujar pendirinya pada hari Minggu (16/7/2017), setelah pemerintah Indonesia memblokir akses ke platform tersebut dengan alasan masalah keamanan.
Indonesia, sebagai tempat tinggal bagi populasi Muslim terbesar di dunia, telah melihat adanya kebangkitan radikalisme yang tumbuh di dalam negeri, dan juga telah mengupayakan meningkatkan kerjasama dengan negara tetangganya untuk membendung pertumbuhan kehadiran kelompok Islam ekstrimis di Asia Tenggara.
Pada hari Jumat (14/7/2017), pihak berwenang Indonesia memblokir semua akses ke Telegram, dengan mengatakan bahwa mereka memiliki beberapa forum yang "penuh dengan propaganda radikal dan teroris".
Pavel Durov, selaku pendiri aplikasi perpesanan tersebut, mengatakan di Telegram bahwa telah terjadi "miskomunikasi" dengan pihak berwenang Indonesia, karena dirinya tidak mengetahui adanya permintaan pemerintah untuk menghapus akun tertentu.
"Telegram sangat terenkripsi dan berorientasi pada privasi, tapi kami bukan teman teroris," ujar Durov di saluran Telegramnya, menambahkan bahwa dirinya "kecewa" atas pemblokiran yang dilakukan oleh Indonesia, sebagaimana dikutip dari laman Reuters, di Jakarta, Senin (17/7/2017).
Dirinya mengatakan bahwa sejak larangan tersebut, Telegram telah mengambil langkah-langkah untuk memblokir akun tertentu yang dilaporkan oleh pemerintah Indonesia karena membawa konten terkait terorisme.
Presiden Indonesia Joko Widodo mengatakan pada hari Minggu, bahwa platform media sosial lainnya tidak akan terpengaruh oleh langkah pemerintah terkait pemblokiran ini.
Telegram adalah platform olahpesan yang diyakini populer di kalangan simpatisan Negara Islam atau Islamic State, yang menggunakan chat room dengan ratusan anggota, serta melakukan percakapan pribadi.
Banyak aplikasi perpesanan seperti Whatsapp dan Telegram menawarkan enkripsi end-to-end dari pengirim ke penerima, yang berarti bahkan perusahaan penyedia platform tersebut tidak dapat melihat pesannya.
Pejabat keamanan di beberapa negara mengeluh bahwa aplikasi semacam itu memberi ruang yang aman bagi para militan untuk berkomunikasi satu sama lain. Beberapa pemerintah, termasuk Australia dan Inggris, telah mendesak perusahaan teknologi untuk berbuat lebih banyak dalam rangka membantu badan keamanan menggagalkan ancaman yang ada.
Pada hari Minggu, Kementerian Komunikasi dan Informatika Indonesia tidak menanggapi permintaan komentar atas aksi pemblokiran tersebut. Beberapa pengguna mengatakan bahwa mereka masih dapat menggunakan Telegram untuk mengirim pesan teks.
Pada hari Sabtu, Menteri Komunikasi Rudiantara mengatakan kepada Reuters melalui pesan teks bahwa Telegram tidak memproses permintaan pemerintah untuk menghapus konten "radikal" dengan cukup cepat.
"Kami mencoba untuk mendukung bisnis mereka tapi kami juga membutuhkan kerja sama mereka dalam menangani masalah kami, yaitu dalam menangani konten negatif," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Hafit Yudi Suprobo
Editor: Hafit Yudi Suprobo
Tag Terkait:
Advertisement