Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

CITA Minta Wacana Kaji Ulang PTKP Jangan Cuma Kejar Penerimaan

CITA Minta Wacana Kaji Ulang PTKP Jangan Cuma Kejar Penerimaan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyarankan tujuan dari rencana pemerintah mengkaji ulang besaran pendapatan tidak kena pajak (PTKP) jangan semata-mata untuk menambah penerimaan negara.

Ide Direktorat Jenderal Pajak untuk mengubah batasan PTKP dari tunggal atau nasional menjadi berbasis wilayah atau zonasi patut diapresiasi sebagai kemajuan paradigmatis dalam memahami dan menempatkan PTKP sebagai instrumen kebijakan fiskal yang lebih efektif, katanya dalam pers rilis di Jakarta, Kamis (20/7/2017).

Namun demikian, paradigma yang tepat seyogianya tidak dengan meletakkan kebijakan PTKP untuk tujuan penggalian potensi atau menambah penerimaan negara (revenue-centered), melainkan secara komprehensif dan holistik dalam model dan skema insentif yang lebih tepat sasaran (policy-centered).

"Kebijakan ini pertama-tama bukan untuk mengejar penerimaan melainkan mendesain arsitektur insentif yang lebih adil dan terukur. Tambahan penerimaan, jika ada, adalah 'unintended consequence' dari kebijakan," ujar Yustinus.

Dengan PTKP, penghasilan sampai jumlah tertentu tidak dikenai pajak (non-taxable income) karena digunakan oleh wajib pajak untuk memenuhi kebutuhan dasarnya agar dapat bekerja untuk mendapatkan penghasilan yang akan menjadi objek pajak (minimum standard of living/subsistence level allowances).

PTKP, menurut UU, dengan memperhitungkan harga kebutuhan pokok, dapat disesuaikan oleh Menteri Keuangan dengan pertimbangan DPR. Dengan kata lain, upah minimum provinsi (UMP) dapat dijadikan salah satu rujukan dalam menyusun PTKP.?Selama ini PTKP diatur di Pasal 7 UU PPh dan disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai perkembangan dan kondisi ekonomi.

Kenaikan PTKP terakhir terjadi pada tahun 2016 menjadi Rp4,5 juta per bulan dari Rp 3 juta per bulan.?Kenaikan ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli rumah tangga sehingga mendorong konsumsi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, kebijakan ini juga menggerus penerimaan negara sekitar Rp18 triliun dan tidak tepat sasaran karena kenaikan PTKP juga dinikmati kelompok masyarakat berpenghasilan menengah-atas, sehingga perlu dilakukan evaluasi, apakah penerapan cash transfer yang lebih tepat sasaran dan terukur dapat menjadi pilihan yang lebih baik.?Dalam praktiknya terdapat beberapa varian PTKP dengan menambahkan aspek berdasarkan gender atau perempuan bekerja dan single parent mendapat insentif besar (Singapore, India), pekerja usia nonproduktif (Argentina, Afsel, Maroko), kompensasi sosial (Ghana, Meksiko, Maroko, Uganda), tunjangan anak keluarga berpenghasilan rendah (UK). Kanada memberlakukan PTKP dengan model zonasi berbasis provinsi.

"Jika dibandingkan negara lain, formulasi PTKP Indonesia memang jauh tertinggal karena hanya memasukkan komponen biaya hidup minimum yang standar. Wacana merevisi PTKP adalah kesempatan memperbaiki skema dan model agar lebih adil. Model zonasi juga dimungkinkan mengingat gap penghasilan dan UMP antarwilayah yang cukup lebar. Ini demi memastikan prinsip 'ability to pay' dapat diimplementasikan dengan baik," ujar Yustinus.

Hanya saja, lanjut Yustinus, kenaikan PTKP merupakan bagian paket kebijakan ekonomi Pemerintah dan telanjur dipersepsikan sebagai kebijakan sosial yang melindungi kelompok berpenghasilan rendah cukup sensitif jika diturunkan dalam waktu dekat, apalagi bila membuat kelompok berpenghasilan rendah harus dikenai pajak.

Oleh karena itu, formulasi dan simulasi yang matang, sosialisasi yang jelas, timing yang tepat, dan administrasi yang baik mutlak dibutuhkan. Pemerintah tidak perlu terburu-buru demi memastikan kebijakan ini tepat sasaran, tepat guna, dan tepat hasil.?Yustinus menambahkan, wacana ini hanya penampakan dari kebutuhan melakukan desain ulang arsitektur fiskal Indonesia, yang tidak sekadar menempatkan pajak sebagai pundi-pundi pengisi kas negara, melainkan juga sebagai instrumen kebijakan fiskal yang efektif bagi publik.

"Karenanya, ukuran kinerja perpajakan tidak tepat jika hanya diukur dari capaian rasio pajak dan pencapaian target APBN, tanpa memperhatikan formulasi dan implementasi insentif/fasilitas perpajakan dan efek ganda yang diciptakan," kata Yustinus. (Ant)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: