Setiap perusahaan sudah tentu mempunyai mimpi, tidak terkecuali PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI). Apabila perihal mimpi ini ditanyakan kepada chief executive officer (CEO) BRI, Suprajarto, beliau akan menjawab bahwa BRI akan menjadi The Most Valuable Bank in ASEAN pada 2022. Yang dimaksud dengan The Most Valuable Bank ialah ketika BRI berguna bagi stakeholder, seperti pemerintah (selaku pemegang saham terbesar, 51%), investor, dan masyarakat.
Ada dua indikator yang dipakai BRI untuk menjadi The Most Valuable Bank in ASEAN, yakni laba bersih dan kapitalisasi pasar (market capitalization) yang melonjak setidaknya dua kali lipat. Laba BRI sampai kuartal III 2017 sebesar Rp20,5 triliun dan nilai kapitalisasi pasar Rp426,8 triliun. Dengan patokan yang dipakai BRI, Suprajarto mematok setidaknya perolehan laba bersih BRI pada 2022 di atas Rp50 triliun dan nilai kapitalisasi pasar Rp860 triliun.
Untuk mencapai sasaran tersebut, manajemen BRI sudah tentu telah melewati pertimbangan yang matang. Hal ini bisa terlacak dari dokumen peta jalan (roadmap) bank yang fokus melayani wong cilik, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) periode 2013—2017. Dalam peta jalan tersebut, BRI menjadi bank dengan pertumbuhan UMKM terbesar pada 2013. Dua tahun kemudian (2015), BRI menjadi The Biggest National Payment Bank. Lalu, menjadi Integrated Banking Solution pada 2017 dan The Most Valuable Bank in Indonesia setelah 2017.
Sudahkah BRI menjadi The Most Valuable Bank di Indonesia? Kalau dilihat dari sisi aset, BRI yang memiliki aset sebesar Rp1,038 triliun pada tahun 2017, berada di bawah Bank Mandiri yang memiliki aset sebesar Rp1.078 triliun. Begitu pula jika ditengok dari nilai kapitalisasi pasar, bank yang melantai di bursa pada tahun 2003 ini memiliki nilai Rp426,8 triliun pada 2017, satu level di bawah BCA dengan nilai Rp503,1 triliun. Di tahun yang sama, BRI unggul dalam hal perolehan laba bersih senilai Rp20,5 triliun dibanding Bank Mandiri yang membukukan Rp15,6 triliun dan BCA sebesar Rp16,8 triliun.
Di atas kertas, target BRI menjadi The Most Valuable Bank in Indonesia boleh dibilang sudah tercapai. Hal ini merujuk pada parameter peringkat 2000 teratas perusahaan publik yang dilakukan oleh majalah Forbes bertajuk “The World Biggest Puclic Companies 2017”. Forbes menempatkan BRI pada peringkat 386, melewati Bank Mandiri dan BCA yang berada di posisi 494 dan 564. Indikator utama keunggulan BRI dibandingkan dua bank nasional tersebut terletak pada laba bersih sebesar Rp20,5 triliun. Sedangkan dalam hal aset dan nilai pasar, BRI berada di bawah Bank Mandiri dan BCA.
Empat Langkah Strategis
Setelah tahapan sebagai The Most Valuable Bank in Indonesia tercapai, kini BRI tinggal melangkah ke target berikutnya, yaitu menjadi The Most Valuable Bank in ASEAN pada 2022. Meski untuk mencapai sasaran itu masih ada waktu lima tahun lagi, Suprajarto bersama jajaran manajemen bank yang didirikan pada 1895 ini sudah membuat ancang-ancang strategi yang akan ditempuh. Setidaknya, ada empat hingga lima langkah kebijakan yang akan ditempuh oleh BRI. “Indkator yang harus dicapai, yakni laba bersih di atas Rp50 triliun dan kapitalisasi pasar naik dua kali lipat,” ujar Suprajarto kepada majalah Warta Ekonomi.
Strategi pertama, BRI tetap fokus pada bisnis UMKM. Portfolio kredit UMKM akan ditingkatkan hingga 80% dari total penyaluran kredit BRI pada 2022. Per Oktober 2017, portfolio kredit BRI sebesar Rp694,2 triliun. Dari jumlah itu, 75,8% atau Rp526,5 triliun mengalir ke UMKM. Dengan komitmen BRI untuk semakin fokus ke bisnis UMKM, perusahaan akan memangkas portfolio kredit untuk korporasi dari 27% pada 2017 menjadi 20% pada 2022.
Strategi kedua, BRI akan memperkuat bisnis konsumer melalui salary loan (kredit multiguna) dan kredit kepemilikan rumah (KPR). Sampai akhir September 2017, BRI telah menyalurkan KPR sebesar Rp21,1 triliun, naik 25% dibanding periode yang sama 2016 yang hanya sebesar Rp16,9 triliun. Saat ini, masih ada selisih pasok dan permintaan rumah (backlog) sebesar 11,4 juta unit. Dengan masih besarnya backlog tersebut, permintaan terhadap rumah akan terus meningkat. Ini masih dorong lagi oleh keringanan uang muka KPR melalui kebijakan loan to value (LTV) yang dikeluarkan Bank Indonesia.
Rencana strategi ketiga, BRI akan mengarakan segmen korporasi ke basis whole sale transaction banking guna mengumpulkan dana murah serta menghasilkan fee based income. Whole sale transaction ini melayani kebutuhan nasabah kakap—institusi pemerintah dan korporasi besar, seperti perusahaan dana pensiun—akan berbagai transaksi perbankan, seperti risk management, investment service, trade financing, dan merchant banking. Dengan arah kebijakan ini, BRI akan memperkuat basis pengelolaan transaksi perbankan korporasi guna mengais pendapatan di luar bunga kredit (fee based income).
Tapakan langkah strategis keempat, BRI membangun integrated financial solution. BRI akan meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di masyarakat sehingga jasa dan produk keuangan lebih bervariasi dengan melibatkan atau bersinergi dengan perusahaan anak BRI. Merujuk peta jalan BRI 2013—2017, perusahaan mematok target menjadi integrated solution banking. Pada 2015, BRI meresmikan layanan BRI Digital di Kota Kasablanka, Jakarta dan Terminal III Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang. Layanan serba digital dan selfservice ini melayani kebutuhan informasi perbankan dan nonperbankan (e-UMKM dan e-pasar).
Hybrid Transformation
Menurut Direktur BRI, Indra Utoyo, transformasi sektor perbankan yang mengarah ke layanan perbankan digital memang tidak bisa dihindari. BRI pun terus berupaya mengarahkan pelayanan perbankannya ke perbankan digital. Untuk maksud itu, BRI membentuk Digital Center Execellence yang mendedikasikan diri mencari pembaruan dalam hal layanan perbankan digital yang berjalan begitu cepat dengan hadirnya financial technology (fintech). Ada jenis fintech yang masuk dalam kategori “killer” karena fokus layanan mereka yang spesifik, seperti peer-topeer lending, crowd-funding and payment.
BRI sejatinya sudah menyiapkan diri untuk mengantisipasi perubahan yang begitu cepat di sektor perbankan dengan hadirnya era perbankan digital. Untuk menyongsong era perbankan digital, menurut Indra Utoyo, BRI menyiapkan kebijakan hydbrid model of transformation. Pengadopsian transformasi ini memungkinkan manajemen BRI tetap fokus menggarap bisnis UMKM dan pada sisi lain terus mencari bisnis-bisnis baru yang terus berkembang di era perbankan digital, seperti kehadiran fintech. “Untuk itu, kami mengadopsi startup mindset guna membaca tren ke depan untuk melengkapi dan memperbaharui layanan bisnis,” ujarnya.
Arahan jajaran direksi menjadi panduan bagi pegawai BRI hingga level terbawah yang berada di berbagai pelosok negeri. Menurut Kepala Cabang BRI di Kotabumi, Lampung, Fahmi Hidayat, hal yang utama adalah mengubah pola pikir pekerja BRI. Dalam bisnis perbankan sedang berlangsung perubahan struktur dan bisnis, hal ini perlu diantisipasi dan direspons dengan tepat. Dengan antisipasi yang cepat dan tepat seperti yang sekarang ini dilakukan, mimpi BRI menjadi The Most Valuable Bank di Asia Tenggara bukan mustahil akan tercapai. “Jangan sampai kami di BRI terlambat merespons perubahan tersebut,” ujar Fahmi yang pernah menjabat sebagai pimpinan cabang BRI di Nunukan, Kalimantan Utara.
Respons Bank Kompetitor
Langkah BRI yang berlari kencang mengejar mimpi menjadi The Most Valuable Bank di Asia Tenggara, tentulah dipantau pula oleh para kompetitor bank-bank swasta nasional lainnya. Meski secara tidak terang benderang menyatakan siap berkompetisi dengan BRI dan bank-bank lainnya di dalam dan luar negeri, BCA mematok laju pertumbuhan pada laba bersih, kenaikan kredit, dana pihak ketiga (DPK), serta penurunan non-performing loan (NPL) yang rendah. “Bahwa nantinya kami jadi nomor dua, tiga, atau empat terbesar di Asia Tenggara tidaklah masalah. Rada aneh ya,” ujar CEO PT Bank Central Asia Tbk, Jahja Setiaatmadja, kepada Warta Ekonomi.
Kinerja keuangan BCA per triwulan III-2017 memperlihatkan pencapaian laba bersih sebesar Rp16,8 triliun, melonjak sebesar 11,3% dari periode yang sama 2016 sebesar Rp15,1 triliun. Laba bersih itu disumbang dari pendapatan bunga bersih dan pendapatan operasional sebesar Rp41,7 triliun atau naik 5,2% dari periode yang sama 2016 senilai Rp39,7 triliun. Sedangkan, outstanding portfolio kredit BCA mencapai Rp440 triliun atau melonjak 13,9% (yoy) yang didorong segmen korporasi dan konsumer. Angka NPL BCA berada di level 1,5% dan tingkat kecukupan modal (CAR) sebesar 23,6%.
Menurutnya, BCA tidaklah menaruh ambisi untuk menjadi The Most Valuable Bank di Asia Tenggara, yang penting perusahaan terus berupaya agar laba terus meningkat, kredit naik, DPK melonjak, dan NPL rendah. Itu sudah cukup untuk BCA. Tanpa menaruh target saja, BCA menempati posisi kedua terbesar di Asia Tenggara di bawah DBS, bank asal Singapura, bila merujuk indiaktor nilai kapitalisasi pasar. Nilai kapitalisasi pasar BCA, merujuk data yang dikeluarkan majalah Forbes (2017) sebesar US$32,1 miliar, DBS bank sebesar US$34,2 miliar, dan BRI senilai US$24,2 miliar. “Sekali lagi, BCA nggak punya ambisi jadi bank terbesar di Asia Tenggara,” tutur Jahja Setiaatmadja.
The Most Valuable Bank in ASEAN
Berdasarkan penilaian majalah Forbes 2017, dari 14 perusahaan Malaysia yang masuk ke dalam penilaian tersebut, ada lima perusahaan dari kelompok bisnis perbankan. Posisi kelima bank tersebut berada di bawah BRI (peringkat 386). Misalnya, Malaysian Banking Bhd (peringkat 390), Public Bank (peringkat 632), CIMB Group Holding Bhd (peringkat 671), RHB Bank (peringkat 1.405), AmBank Group (peringkat 1.771). Hanya dari bank-bank Singapura, BRI secara peringkat Forbes tertinggal. Misalnya, DBS Bank (peringkat 245), OCBC Bank (peringkat 301), UOB Bank (peringkat 332).
Meski saat ini peringkat BRI versi Forbes masih kalah dengan bank-bank Singapura dan BCA, perjuangan untuk mengejar mimpi terus diupayakan. Setidaknya dari sisi nilai kapitalisasi pasar, peluang BRI menyalip bank-bank Singapura dan BCA masih terbuka. Suprajarto mematok target nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp860 triliun pada 2022. Atau, bila memakai angka yang dikeluarkan majalah Forbes, nilai kapitalisasi dari US$24,2 miliar menjadi US$48,4 miliar. Terkait upaya mendongkrak nilai pasar, BRI melakukan stock split saham 1:5 bank berkode BBRI di BEI pada Oktober 2017.
Menurut Suprajarto, langkah stock split dilakukan agar harga saham perseroan menjadi lebih murah sehingga lebih terjangkau oleh investor ritel kecil. Stock split ini akan memecah nilai nominal saham BBRI dari Rp250 menjadi Rp50. Sedangkan, harga saham perusahaan di bursa yang mencapai Rp15.000-an akan menjadi Rp3.000-an, relatif lebih terjangkau untuk dibeli oleh investor ritel kecil. Langkah ini diharapkan akan memperluas basis investor dan mendongkrak nilai kapitalisasi pasar. Analis First Asia Capital, David N. Sutyanto, tidak menyangkal langkah BRI ini bakal menggenjot kinerja harga saham dan membuat kinerja lainnya, termasuk nilai pasar. “Saya optimistis harga saham dan kinerja BRI akan meningkat,” ujarnya.
Sementara itu, analis Pefindo, Guntur Triharyanto, menilai apabila BRI ingin menyalip DBS Bank, langkah yang paling rasional dilakukan adalah konsolidasi bank-bank BUMN. Dengan konsolidasi itu, sisi aset akan semakin membesar, begitu pula skala bisnis untuk bisa merambah ke pasar di ASEAN. Tetapi apabila makna The Most Valuable Bank itu dilihat dari nilai kapitalisasi pasar, masih dimungkinkan dengan strategi dan upaya di lokal. Poin utamanya adalah bagiamana BRI melakukan penetrasi ke masyarakat yang belum terjangkau layanan perbankan. Kehadiran BRISat sudah tepat. Hanya saja, dalam hal teknologi BRI masih tertinggal dari bank besar lain, ditambah adanya tantangan dari fintech. “Sekarang tinggal bagaimana BRI merangkul fintech tersebut,” sarannya.
Akankah impian CEO BRI Suprajarto untuk membawa BRI sebagai The Most Valuable Bank in ASEAN terwujud pada 2022? Bila melihat semua langkah-langkah strategis yang dipersiapkan dan dilakukan, itu bukanlah hal yang mustahil untuk digapai.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: