Pemerintah tengah melakukan penguatan terhadap sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) agar produk CPO dan turunannya bisa diterima di pasar internasional. Penguatan dilakukan melalui 3 hal, yaitu penerbitan Perpres untuk menggantikan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11 /Permentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil/ISPO), penerbitan Inpres terkait evaluasi dan penundaan izin peluasan perkebunan baru, serta peningkatan produktivitas (deforestasi), penguatan terhadap petani sawit rakyat.
Deputi II Bidang Koordinasi Pertanian dan Pangan Kemenko Perekonomian Muzdalifah Machmud menyatakan sebagai produsen sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki 11,2 juta hektare lahan sawit. Namun, meski sudah memiliki sertifikasi ISPO, pasar internasional belum mau menerimanya. Untuk itu, pemerintah melakukan penguatan ISPO sembari membuka diplomasi dengan berbagai pihak termasuk India sebagai pasar terbesar, perwakilan Uni Eropa yang bermarkas di Brussel, United Kingdom Climate Change Unit, dan perwakilan dari Prancis untuk memberi masukan.
"Saat ini kita menghadapi kritikan dan memang masih banyak yang menolak ISPO juga. Makanya, kami buka ISPO ini ke semua pihak mulai dari petani, NGO. Kami juga menggandeng KEHATI (NGO yang mengelola dana hibah untuk konservasi keanekaragaman hayati) yang sudah berpengalaman dengan sertifikasi produk kayu (SVLK atau Sistem verifikasi legalitas kayu) yang sudah diterima pasar internasional," kata dia di Jakarta, Jumat (23/2).
Nantinya, dalam Perpres akan diatur mengenai penerbitan sertifikat ISPO yang selama ini dilakukan oleh pemerintah, akan dialihkan ke lembaga sertifikasi yang independen sehingga lebih transparan di mata internasional. Selain itu, akan ada pendampingan ke small holders (petani sawit rakyat) agar mereka mampu memiliki sertifikasi ISPO. Dari 11,2 juta hektare lahan sawit, sekitar 4,7 juta hektar di antaranya atau 40%-nya milik petani rakyat.
"Penguatan ini artinya agar ada kesamaan pemahaman dari semua pihak apa itu ISPO. Makanya, dibuatlah setingkat Perpres yang melibatkan multistakeholder termasuk Mentan, Menteri LHK, Menperin, dan Mendag. Sebenarnya, sudah sejak 2 tahun lalu kami melakukan konsultasi publik di 4 kota utama penghsil sawit. Dan kami juga melakukan pendampingan ke petani rakyat. Dari sekitar 1,6 juta petani, sudah ada dua kelompok tani yang memiliki sertifikasi yakni di Riau dan di Kombeng Kukai Timur," tambah dia.
Produk Sawit Indonesia kerap diisukan negatif oleh pasar internasional, salah satunya Uni Eropa, mulai dari isu tidak ramah lingkungan, dumping, dan sebagainya. Namun, perlahan dukungan masyarakat internasional bermunculan. Salah satunya dari aliansi asosiasi industri Eropa yang tergabung dalam EPOA (European Palm Oil Alliance). EPOA menolak diskriminasi dan penolakan terhadap minyak sawit oleh Parlemen Uni Eropa karena pada kenyataannya produk minyak sawit yang masuk ke Eropa 69% adalah produk minyak sawit berkelanjutan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Yosi Winosa
Editor: Fauziah Nurul Hidayah