Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ribuan Rohingya Kabur dari Perbatasan Myanmar, Repatriasi Gagal?

Ribuan Rohingya Kabur dari Perbatasan Myanmar, Repatriasi Gagal? Kredit Foto: Antara/Mohammad Ponir Hossain
Warta Ekonomi, Yangon -

Ribuan Muslim Rohingya telah meninggalkan sebidang tanah di perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh setelah kedua negara bertemu untuk membahas permukiman kembali mereka, seorang pejabat dan seorang pemimpin masyarakat menyatakan dalam sebuah pernyataan.

Badan pengungsi PBB telah menyatakan keprihatinannya bahwa sekitar 5.300 orang yang tinggal di daerah tersebut di luar pagar perbatasan Myanmar, namun berada di sisi negara Myanmar dengan sebuah sungai kecil yang menandai perbatasan internasional, akan dikembalikan secara paksa tanpa pertimbangan untuk keselamatan mereka.

Hampir 700.000 orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke Bangladesh setelah serangan gerilyawan pada 25 Agustus 2017 lalu memicu sebuah tindakan keras militer yang menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa mengindikaiskan sebagai sebuah pembersihan etnis, dengan berbagai laporan seperti serangan pembakaran rumah penduduk, aksi pembunuhan dan pemerkosaan.

Mayor Iqbal Ahmed, seorang pejabat penjaga perbatasan senior Bangladesh mengatakan pada Selasa (28/2/2018) malam bahwa sekitar setengah dari orang-orang yang tinggal di tanah tidak ada orang telah memasuki Bangladesh dan berjalan ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh hanya dalam waktu lebih dari seminggu.

"Mereka meninggalkan tempat itu dalam ketakutan," ungkap Iqbal Ahmed, sebagaimana dikutip dari Reuters, Rabu (28/2/2018).

"Sekarang ada sekitar 2.500-3.000 orang berada di tanah orang. Kami berbicara dengan beberapa dari mereka dan meminta mereka untuk kembali, tapi mereka bilang tidak bisa," tambahnya.

Pejabat lokal dari kedua belah pihak bertemu pada 20 Februari dan mengunjungi daerah tersebut. Dil Mohammed, seorang pemimpin di antara orang-orang yang tinggal di tanah perbatasan mengatakan bahwa sebuah pertemuan dengan tokoh masyarakat yang dijanjikan oleh pejabat Myanmar tidak terwujud, yang mengkonfirmasikan bahwa beberapa ratus keluarga telah pindah ke Bangladesh sejak 20 Februari.

"Kami terus-menerus takut. Kami tidak pergi ke kamp-kamp," tuturnya, merujuk pada kamp-kamp sementara yang telah dibangun Myanmar untuk menampung kemungkinan pengungsi yang kembali kembali di bawah perjanjian pemulangan yang ditandatangani dengan Bangladesh pada bulan November.

"Tidak ada jaminan untuk hidup. Kami membutuhkan keamanan dan semua hak dasar termasuk kewarganegaraan seperti komunitas lain yang diberikan oleh pemerintah Myanmar," tutur Dil Mohammed.

Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay mengatakan pada hari Rabu (28/2/2018) bahwa wilayah tersebut adalah wilayah Myanmar.

"Sesuai aturan mereka tidak bisa tinggal di sana, 150 meter dari garis batas. Mereka tinggal di sana untuk menciptakan situasi di mana pasukan keamanan Myanmar dan pejabat pemerintah akan menghapusnya," ujarnya.

"Media, terutama Reuters, dan organisasi hak asasi manusia akan menekan dan membuat tuduhan bahwa mereka sedang dibersihkan," ujarnya.

"Ini adalah perangkap untuk memberi tekanan lebih besar pada Myanmar, untuk membuat lebih banyak kritik terhadap Myanmar," imbuhnya.

Setelah pertemuan 20 Februari, Zaw Htay sebagaimana dikutip dalam media berbahasa Myanmar mengatakan bahwa beberapa orang yang tinggal di daerah perbatasan adalah "teroris" yang mana terkait dengan Arakan Rohingya Salvation Army yang telah menyerang pos keamanan Myanmar pada 25 Agustus.

"Kami mendapat informasi bahwa teroris ada di sana," tutur Zaw Htay

"Tempat ini akan menjadi rumah aman atau tempat berlindung bagi teroris, dan mereka bisa melakukan aksi terorisme di kedua belah pihak," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Hafit Yudi Suprobo
Editor: Hafit Yudi Suprobo

Bagikan Artikel: