Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menilai partai politik tidak siap mencetak kader-kader berkualitas sebagai calon pemimpin masa depan.
"Partai belum sadar mengapa mereka kalah dan mengapa tidak ada figur baru dari kader mereka untuk dicalonkan. Akibatnya, calon peserta pemilu diambil dari kader baru dari luar partai atau yang ada dalam 'incumbent' (petahana) untuk zona nyaman," kata Agus pada acara Forum Komunikasi Pimpinan Lemhannas RI dengan Pemimpin Redaksi Media Massa bertema "Tantangan Pengelolaan Ketahanan Nasional Menghadapi Pilkada 2018" di Gedung Lemhannas, Jakarta, Rabu (14/3/2018).
Padahal, lanjutnya, sosok pemimpin berkualitas sangat dibutuhkan untuk ketahanan nasional. Menurut dia, parpol tidak menggunakan waktu lima tahun dengan baik untuk mengonsolidasikan kader.
Kondisi itu membuktikan bahwa selama ini tidak ada perubahan dari sisi keseriusan partai politik untuk menjalankan salah satu fungsinya yakni melakukan rekrutmen politik.
"Parpol masih begitu-begitu saja, akhirnya saat mendekati pemilu kesulitan karena tidak punya kader. Partai masih belum sadar melakukan introspeksi mengapa tidak bisa menampilkan kader-kader dalam menghadapi pemilu," ucap Agus.
Akibat minimnya upaya rekrutmen politik, tidak heran calon pemimpin yang muncul akan itu-itu saja, baik itu dalam perhelatan demokrasi pilkada maupun pilpres.
Minimnya kader berkualitas juga mengakibatkan Indonesia sulit untuk mengembangkan diri.
Ia mencontohkan pada Pilpres 2014, seluruh partai politik peserta pemilu hanya memunculkan dua calon presiden dan wakil presiden. Kondisi yang sama besar kemungkinannya juga akan terjadi pada Pilpres 2019. Ia mengingatkan munculnya dua calon pada Pilpres 2014 sudah cukup untuk membelah masyarakat dan hingga kini memunculkan kelompok-kelompok fanatik di tengah masyarakat.
Kondisi yang sama, kemungkinan besar juga akan terjadi pada 2019. "Jika hanya muncul dua calon, masyarakat kita bisa terbelah seperti yang terjadi pada 2014. Muncul kelompok-kelompok fanatik yang berlangsung sampai saat ini," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Agus mengatakan, masih maraknya operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan aparat penegak hukum juga merupakan bukti nyata masih mahalnya ongkos berpolitik di Indonesia, sehingga terjadinya politik uang.
"Masih maraknya kasus OTT dapat menjadi indikator masih maraknya politik uang di Indonesia. Juga membuktikan masih mahalnya biaya politik, Sistem pendanaan parpol masih belum jelas. Kita masih lambat untuk belajar hakekat politik," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil