Serangan teror bom kembali mengguncang Tanah Air. Serangan yang meninpa tiga gereja di Surabaya menelan 13 korban tewas. Di tengah-tengah teror bom tersebut ternyata para pelaku pasar atau investor pasar modal lebih memilih menyoroti data-data ekonomi makro dan tren kenaikan bunga acuan The Fed.
Terkait hal tersebut, Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan bahwa iklim dunia usaha di lokasi Surabaya juga tidak terlalu terdampak. Prospek bisnis di Surabaya masih cerah dengan tingkat populasi kelas menengah yang semakin besar. Tahun 2017 lalu pertumbuhan ekonomi Jawa Timur 5,45% lebih tinggi dari rata-rata nasional 5,1%.
"Pengembangan kawasan industri di Surabaya juga bagus. Dampak dari teror hari minggu ini kecil sekali. Pelaku usaha saya kira sangat rasional mlihat prospek jangka panjang," jelasnya di Jakarta, Senin (14/5/2018).
Sebagai informasi, pagi ini IHSG memang dibuka turun 1,37% ke 5.874 dan nilai tukar rupiah melemah 0,2% menjadi Rp13.988.
Namun, ia memandang bahwa dengan penanganan dari aparat keamanan untuk mengembalikan kondisi di Surabaya dirinya optimis bisa berjalan cepat, jadi dampaknya hanya temporer.
"Saya kira pekan depan IHSG justru dibuka menguat ke 6.000-6.100," terangnya.
Menurutnya, beberapa waktu lalu ketika mako brimob dikuasai napi teroris, hampir tidak berdampak ke sentimen pasar. IHSG pada 9 Mei 2018 ditutup naik 2,31% dan pada 11 Mei 2018 naik 0,83%.
Jika dilihat, ada perbedaan efek dari bom seperti bom bali atau bom JW Marriot dengan aksi teror belakangan ini yang sifatnya menyerang target warga lokal dan aparat keamanan.
"Tapi, pemerintah dan aparat keamanan tetap harus mewaspadai ancaman terorisme berdekatan dengan penyelenggaraan event-event besar seperti Pilkada, Asian Games, dan IMF-World Bank Meeting di Bali," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Fauziah Nurul Hidayah