Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lion Air Group: Bisnis Airlines Butuh Kejelian

Oleh: Edward Sirait, CEO Lion Air Group

Lion Air Group: Bisnis Airlines Butuh Kejelian Edward Sirait | Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sejak mengudara pada Juni 2000 lalu dengan pesawat Boeing 737-200 rute JakartaPontianak, Lion Air Group kini menjelma menjadi pemain low cost carrier (LCC) airline nomor satu di Indonesia. Lion Air Group telah membeli lebih dari 480 pesawat yang beberapa di antaranya sudah dikirimkan, seperti 294 unit Boeing, 41 unit Airbus A320 CEO, 6 unit Airbus A330, 19 unit ATR72-500, 51 unit ATR72-600, 2 unit Hawker H900XP, serta 1 unit EC 135-P2E. Lion Air Group juga memiliki beberapa brand, seperti Lion Air, Wings Air, Batik Air, Lion Bizjet, Malindo Air di Malaysia, dan Thai Lion Air di Thailand.

Tidak dipungkiri, perkembangan bisnis grup perusahaan turut ditopang oleh regulasi pemerintah. Ini ditandai dengan dirilisnya UU Nomor 1/2009 yang mengklasifikasikan jenis-jenis layanan airline menjadi 3, yakni no frills (tidak memberikan fasilitas-fasilitas lain seperti makan), medium, dan full service. Sejak itu, perusahaan fokus untuk memilah dua segmen saja, no frills (low cost carrier/LCC) dan segmen full service.

Alhasil, Lion Air Group kini memiliki pangsa pasar terbesar. Sebagai gambaran, pada tahun 2017 lalu, dari total 63,01 juta penumpang Bandara Soetta, 23,04 juta di antaranya atau sekitar 36,5% adalah penumpang Lion Air Group. Pun untuk Lion Air (LCC), pangsa pasarnya sudah di atas 30%, melebihi kompetitor lain (Citilink dan Sriwijaya Air). 

Tren positif ini bisa saja berlanjut, bisa juga tidak. Pasalnya, karakter industri ini sangat dinamis dan berkembang sehingga apa saja bisa terjadi. Kenyataannya, Lion Air Group memang diminati dan diterima masyarakat, tetapi keadaan ini belum tentu linear dengan kinerja keuangan perusahaan. Berdasarkan catatan International Air Transport Association (IATA), jumlah penumpang pada tahun lalu mencapai 100 juta penumpang dan diprediksi kian meningkat menjadi 300 juta pada 2035 mendatang. 

Setidaknya, ada beberapa hal yang membuat CEO Lion Air Group, Edward Sirait, optimistis terhadap prospek bisnis ini. Pertama, jumlah penduduk yang besar. Dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia, baru ada 100 juta penumpang, itu pun 40 juta di antaranya hanya frequent flyer. Artinya, masih banyak yang belum naik pesawat atau yang akan menjadi potensi customernya perusahaan penerbangan. Hal itu bisa akan sangat nyata, mengingat pertumbuhan ekonomi yang selalu tumbuh di sekitar 5% juga geografis Indonesia yang kepulauan.

Potensi lain ada pada hal yang mungkin tidak dimiliki negara lain, salah satunya kunjungan kekerabatan nasional yang cukup tinggi. Masyarakat masih saling mengunjungi kerabatnya saat menikah, sakit, kemalangan, atau merayakan mereka yang baru saja memperoleh jabatan atau gelar. Ada Juga dari pengembangan destinasi-destinasi pariwisata baru. 

Namun, potensi tersebut akan menguap begitu saja jika perusahaan tidak mampu mengatasi tantangan-tantangan yang ada. Utamanya masalah ketergantungan terhadap transaksi dolar AS yang masih terjadi di sektor penyewaan atau cicilan pesawat, pembelian suku cadang, peralatan pendukung seperti simulator, avtur, dan maintenance yang sudah hampir mencakup 80% dari total biaya. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga selalu memukul industri ini.

Tantangan terberat selanjutnya, menjaga selisih margin revenue per seat kilometer dengan cost per seat kilometer, berapa pun jumlah penumpang. Pasalnya, cost penerbangan 100 penumpang dengan 200 penumpang hampir sama. Meski Lion Air Group sudah memaksimalkan volume penerbangan, tetapi dampaknya ke revenue tidak luar biasa.

Tantangan terakhir, beberapa bandara sudah membuka pintu kepada maskapai dari negara-negara ASEAN. Di sini perlu kebijakan pemerintah yang menjamin adanya kesamaan level of playing field. Apapun yang diberlakukan di negara ASEAN seyogianya juga berlaku di Indonesia. Apalagi dengan adanya Open Sky yang memungkinkan maskapai tetangga melakukan “semi penerbangan internasional” yang turut menggerogoti penerbangan domestik. Siapa yang paling efisien— dalam hal perawatan, penggantian ban, penggantian spare part, dan sebagainya—akan menjadi pemenang.

Lion Air Group di bawah nahkoda Edward sudah menyiapkan 5 siasat untuk menangkis hambatan atau tantangan-tantangan di atas. Pertama, mengurangi ketergantungan terhadap biaya dalam mata uang dolar AS, seperti penyewaan pesawat yang sudah selesai, fasilitas yang tidak lagi semua digunakan oleh pihak ketiga, spare part, serta maintenance yang sebagian besar kini mulai dihitung dalam rupiah.

Lebih spesifik lagi, pembelian avtur jangan sampai lebih murah di negara tetangga daripada dalam negeri. Lalu, jangan ada disparitas harga antarwilayah yang terlalu besar. Ini perlu struktur transportasi nasional yang sehat dan harga juga dihasilkan dari satu kompetisi yang sehat, bukan dihasilkan dari monopoli. 

Mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS juga dilakukan melalui pengembangan market, terutama market regional. Dengan mengembangkan market regional, akan ada balancing antara revenue, antara nilai mata uang rupiah dengan dolar AS.

Kedua, menjaga margin revenue per seat kilometer versus cost per seat kilometer melalui efisiensi cost. Salah satu yang dilakukan adalah melakukan pembelian pesawat lewat financing yang murah. Selama ini, perusahaan melakukan pembiayaan sebagian besar dari kredit ekspor Exim Bank of US. Cicilan kredit pembelian pesawat yang diberikan bersifat jangka panjang dengan tenor bervariasi antara 7—15 tahun dan bunga nyaris nol persen.

Ada dua opsi dalam status kepemilikan pesawat. Pertama, financial list yang artinya bila pesawat tersebut sudah tidak digunakan maka bisa dijual oleh Lion Air kepada pihak lain. Kedua, operational list yang artinya bila sudah tidak digunakan maka dikembalikan kepada Boeing. Lion Air Group tutup mulut soal jumlah masing-masing pesawat ini baik yang statusnya financial list maupun operational list.

Ketiga, melakukan pengembangan ke niche market. Meski saat ini engine growth masih ditopang Lion Air, karena memang dari sisi jumlah armadanya dua kali lipat dibanding Batik Air, Lion Air Group akan mengantisipasi pertumbuhan penumpangnya. Batik Air di masa depan akan menampung penumpang yang bergerak dari Lion Air untuk menikmati jasa yang menurut mereka lebih lengkap. Bisa jadi market di Lion Air bertumbuh, dari yang semula supervisor menjadi manager, semula staf menjadi supervisor.

Keempat, mengoptimalkan pasar domestik dengan mengembangkan produktivitas agar tingkat efisiensinya mencapai titik optimal. Ini dilakukan dengan meningkatkan utilisasi pesawat, dari saat ini 12 jam menuju 13 atau 14 jam. Selain itu, perbaikan fasilitas, perawatan, pembangunan training juga bertujuan agar dapat mengurangi devisa ke luar.

Terakhir, menyinergikan pasar menjadi satu kesatuan dalam bentuk pelayanan. Ketika ada penumpang dari Bangkok ke Jakarta hendak ke Papua, misalnya, Lion Air bisa menyediakan jasa clearance di Jakarta lalu menjadikannya penumpang domestik. Yang perlu dicermati, orang bepergian saat ini bukan lagi ke daerah modern, tetapi trennya beralih ke alam, seperti Labuan Bajo. Mereka ini bisa dicegat terlebih dahulu dari sumbernya di negara asal, kemudian dibawa sebagai penumpang domestik. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ratih Rahayu

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: