Asa yang bertumpuk telah disematkan oleh pemerintah dan masyarakat pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III sejak ditunjuknya perusahaan itu sebagai induk usaha (holding) bagi seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berkecimpung di bisnis perkebunan. Sudah menjadi rahasia publik bahwa kinerja sektor perkebunan nasional sejauh ini masih jauh dari kata berhasil. Dengan kondisi tanah yang subur dan iklim tropis, faktanya, banyak komoditas yang dimiliki justru kalah bersaing dengan hasil produksi negara-negara lain. Sebut saja gula, teh, kakao, hingga sawit hasil produk Indonesia secara kualitas masih kalah bersaing di pasar regional apalagi internasional. Faktor penyebabnya ada banyak, bahkan sangat banyak. Hal itu menjadi beban tanggung jawab yang seketika harus ditanggung oleh PTPN III begitu dipercaya sebagai holding.
Satu per satu permasalahan diidentifikasi, dipetakan, lalu dicarikan solusinya. Berikutnya, solusi juga harus segera diwujudkan dalam tindakan konkret agar sektor perkebunan Indonesia tidak semakin tertinggal negara-negara lain. Di lain pihak, perombakan jajaran manajemen juga terus dilakukan oleh pemerintah sebagai pemegang saham untuk memperkuat fondasi perusahaan. Adapun sejak akhir April 2018 lalu, posisi Direktur Utama PTPN III dipercayakan pada Dolly P. Pulungan, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PTPN III. Oleh Kementerian BUMN, Dolly ditunjuk untuk menggantikan direktur utama sebelumnya, Dasuki Amsir, yang menyeberang haluan dengan menjadi Direktur PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN)
Yang menarik, posisi Wakil Direktur Utama PTPN III pun sebenarnya belum lama ditempati oleh Dolly. Secara resmi, jabatan itu diembankan pada Dolly di awal Februari 2018 seiring dengan adanya perubahan nomenklatur (tata nama) dan penataan organisasi di PTPN III. Sebelum ditunjuk sebagai Wakil Direktur Utama PTPN III, Dolly menjabat sebagai Direktur Utama PTPN VII sejak September 2017 menggantikan pejabat sebelumnya, Andi Wibisono. Bahkan sebelum itu, Dolly adalah Direktur Utama PT Garam (Persero). Dalam catatan rekam jejaknya pun, Dolly pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT Berdikari, Direktur Utama PTPN XI, dan Direktur Keuangan PTPN X.
Dengan pengalamannya yang telah hilir mudik di kalangan BUMN dan beberapa di antaranya juga di BUMN Perkebunan, Dolly diharapkan pemerintah melalui Menteri BUMN, Rini M. Soemarno, untuk dapat membenahi PTPN III secara manajerial dan kinerja agar lebih berkembang secara maksimal di masa mendatang. Lalu bagaimana Dolly menjawab masyarakat dan pemerintah terhadap kinerjanya tersebut? Apa saja strategi yang telah disiapkan Dolly untuk memimpin PTPN III memaksimalkan potensi yang ada dan beranjak tumbuh menjadi perusahaan yang mampu bersaing baik di pasar domestik, regional, maupun global? Berikut perbincangan tim redaksi majalah Warta Ekonomi: Yosi Winosa, Taufan Sukma, dan Agus Aryanto dengan pakar keuangan yang juga ahli dalam permasalahan gula ini.
Sebagai permulaan, bisa diceritakan dulu bagaimana kondisi perkebunan Indonesia dan juga harga komoditas yang ada saat ini?
Untuk kondisi saat ini, di PTPN III sendiri komoditas yang paling dominan masih sawit dengan porsi mencapai 70% terhadap total sales perusahaan. Di bawahnya ada karet dengan kontribusi sekitar 15% dan diikuti gula yaitu sekitar 7%—8%. Sisanya, diisi teh, kopi, kakao, dan berbagai komoditas lain.
Adapun sawit, sebagai komoditas utama yang kami miliki, kondisi harganya masih belum ada perkembangan signifikan. Namun, bila nanti harga bahan dasar (raw material) BBM itu naik, harga minyak dunia naik, biasanya harga crude palm oil (CPO) akan mengikuti. Grafiknya akan berbanding lurus. Posisi harga ini juga tidak terlalu terpengaruh dengan depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang terjadi beberapa waktu terakhir.
Sementara, karet hanya ada sedikit kenaikan. Permintaannya cukup banyak, terutama dari China untuk kebutuhan kendaraan bermotor. Adapun gula yang ditujukan untuk pasar domestik, suplainya pun masih kurang. Dari demand sekitar 3,1 juta ton, suplai dan stok yang ada, secara maksimal baru sanggup penuhi sekitar 2,5 juta ton saja sehingga masih memiliki gap.
Mengingat komoditas yang dimiliki oleh PTPN III relatif sangat banyak, apakah ada rencana untuk menjadikan salah satunya sebagai core business? Atau semua dijalankan bersamaan dengan mengupayakan adanya pertumbuhan di semua komoditas tanpa terkecuali?
Fakta di lapangan memang memperlihatkan banyaknya komoditas potensial namun belum mampu dikelola secara baik sehingga hasilnya juga jadi tidak maksimal, seperti kopi, kakao, dan kelapa. Kontribusi ketiganya selama ini masih tergolong kecil. Ini mau coba kami perbesar. Selain itu, ada pula komoditas tanaman sengon di PTPN XII.
Ke depan, kami akan mencoba memproduksi komoditas teh spesifik yang secara potensi pasar juga sangat spesifik. Beberapa varian teh yang ada di pasaran, antara lain teh hitam dan teh hijau. Adapun yang akan kami kembangkan ke depan adalah teh hijau. Kami juga sedang berupaya mengubah jenis komoditas agar bisa sesuai dengan permintaan pasar yang saat ini sedang bagus. Lalu, kami juga sedang menyiapkan hortikultura di daerah Bandung dan Banyuwangi. Akan tetapi kalau ditanya concern kami apa? Jawabnya adalah kopi, kakao, dan kelapa yang diarahkan sebagai pendapatan lain.
Saat Anda ditunjuk sebagai Direktur Utama PTPN III, apa saja yang menjadi mandat dari pemerintah melalui Kementerian BUMN untuk arah kinerja ke depan?
Mandat yang pertama adalah menjaga harga agar komoditas yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat benar-benar terjangkau. Kemudian yang kedua berkaitan dengan downstream. Kami harus mulai mengembangkan komoditas ke ranah hilir. Ibaratnya, sudah terlalu lama kami ini hanya menjual pisang. Kami tidak pernah menjual produk turunannya, seperti keripik dan lain sebagainya.
Mengapa strategi downstream ini menjadi penting dan bahkan masuk dalam salah satu mandat dari Menteri BUMN?
Secara bisnis, memang mengharuskan kami mengambil strategi itu. Dengan analogi pisang tadi, kalau hanya jualan pisang dan ternyata tidak laku, tentu akan membusuk. Namun, dengan menerapkan strategi downstream ini, manfaatnya yang diperoleh adalah penguatan bisnis. Pada akhirnya, kami tidak tertekan oleh harga di pasar. Coba bayangkan bila kami hanya menjual CPO terus-menerus, begitu CPO terkena banned seperti yang dialami beberapa waktu lalu, kami tidak bisa jualan. Lalu, sisa yang tidak terjual itu akan diapakan? Inilah yang kami olah lagi menjadi minyak goreng atau olein (minyak goreng hasil penyulingan minyak kelapa sawit mentah) sehingga income perusahaan masih tetap terjaga.
Sementara di komoditas tebu, saya pribadi menyebut tebu ini holy plant (tanaman suci). Dari A sampai Z terkait produk turunannya, semuanya laku. Begitu pula dengan sawit yang semua hasil olahannya pasti laku. Mulai dari daunnya, lalu batangnya bisa diperas, hingga ampasnya bisa jadi bahan bakar (bioetanol). Strategi semacam inilah yang dibutuhkan sebagai solusi permasalahan gula selama ini. Pasalnya, gula merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat sehingga harganya harus terjangkau.
Di lain pihak, petani tebu juga membutuhkan harga yang bagus. Oleh karena itu, kami ingin menjual etanol, listrik, juga memproduksi pupuk. Pemain-pemain yang selama ini jago di industri gula, cara mainnya juga begitu, dengan begitu mereka bisa maju.
Jadi, ada rencana perusahaan mengembangkan bisnis etanol ke depannya?
Kami juga akan mengembangkan bisnis ke arah sana. Jika semua rencana ini berjalan, lima tahun lagi kami akan memiliki tiga pabrik bioetanol. Tidak hanya itu, ke depan kami juga akan mempunyai pabrik CO2. Semua itu merupakan turunan dari komoditas gula kami. Dengan demikian, setiap kali pemerintah menurunkan harga eceran tertinggi (HET) gula, kami bisa tenang. Kalau sekarang, setiap pemerintah menurunkan HET, kami kebingungan karena biaya produksi yang masih tinggi. Pabrik-pabrik yang ada masih memakai sistem lama. Orang yang terlibat pun masih sangat banyak sehingga ongkos produksinya masih terlalu tinggi.
Lalu, apa yang akan Anda mulai lakukan sebagai pembenahan di manajemen PTPN III?
Untuk komoditas gula kami akan tetap pada fokus pada harga murah, sedangkan produk-produk turunannya akan diekspor. Harapannya, adanya kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk konversi bioetanol ke bahan bakar. Pemahaman seperti ini yang benar-benar kami tekankan pada seluruh karyawan bahwa harus mulai melangkah ke sana.
Filipina, Thailand, dan India merupakan contoh yang telah menerapkan sistem bisnis tesebut. Semua elemen di PTPN III harus sudah menyadari dan memahami bahwa persaingan pasar kini semakin ketat. Kami perlu segera bergerak karena kalau hanya berhenti di titik ini, kami akan semakin tertinggal. Pola pandang, sikap, dan cara bisnis yang lama perlu segera diubah. Cara lama harus kami tinggalkan sebab ini bisnis zaman now.
Jadi, ini lebih ke gerakan transformasi perusahaan?
Tepat sekali. Pasalnya, bisnis yang dilakukan PTPN III cukup mudah karena semuanya berada di bawah kendali kami. Bandingkan dengan bisnis penerbangan dan kereta api yang bergantung pada penumpang; atau PLN yang bergantung pada pengguna listrik. Sementara, kami ini komoditasnya sudah ada, lahannya juga sudah tersedia, pun dengan pasarnya yang juga sudah tersedia. Jadi semuanya dalam kendali kami. Artinya, kami sudah tidak perlu memikirkan load factor, mengurus anomali, atau regulasi penerbangan.
Semua hal tadi sudah tuntas, termasuk standar varietasnya. Oleh karena itu, saya lebih mendorong teman-teman pekerja di PTPN III ke arah etos kerja dan tingkat kejujuran dalam bekerja. Bagaimana mereka harus bisa ikhlas pukul empat pagi harus datang ke lokasi untuk menderes karet, melihat kondisi tebu, atau harus memanen sawit. Ini berkaitan dengan attitude dan integritas. Jika semua ini sudah bisa dilakukan, pengaruhnya tentu akan ke performance perusahaan.
Attitude dan integritas tadi selalu saya sampaikan ke teman teman di level bawah. Meski saya bukan ahli perkebunan, tetapi saya hendak mengatakan bahwa integritas dalam setiap pekerjaan itu penting. Infrastruktur harus dikelola sebaik mungkin dengan landasan attitude dan integritas tadi. Jangan pernah bersikap apatis dengan membiarkan saja masalah terbengkalai tanpa ada solusi.
Termasuk juga dengan kondisi jalanan rusak di perkebunan yang tidak bisa dilalui?
Persoalan ini murni karena kondisi keuangan perusahaan yang belum memungkinkan untuk melakukan perbaikan jalan tersebut. Akan tetapi hal itu jangan dijadikan alasan untuk tidak bekerja. Jalan yang dilalui mau tidak mau harus sedikit memutar, namun waktu tempuh yang diperlukan ternyata tidak berbeda jauh. Ini yang selalu saya tekankan pada teman-teman di lokasi bahwa keterbatasan ini bukanlah penghalang. Apabila hal-hal seperti ini sudah benar-benar bisa ditata dengan baik dan dengan kesungguhan, sudah barang tentu PTPN III akan sanggup berkembang menjadi salah satu pemain global yang diperhitungkan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Agus Aryanto
Editor: Ratih Rahayu
Tag Terkait: