Aktivitas perekonomian warga yang bermukim di kawasan kaki Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat (NTB), lumpuh pascagempa bumi yang terjadi sejak akhir Juli 2018.
Rohmadaniyah, seorang warga yang menggantungkan hidupnya sebagai kuli angkut perlengkapan pendaki ini mengaku bingung untuk mencari penghasilan lain setelah Gunung Rinjani dinyatakan ditutup sampai waktu yang belum ditentukan.
"Bingung juga mau kerja apa, kalau begini terus, merantau saja jadi TKI," kata bapak dua anak yang bermukim di Senaru, wilayah Utara dari Kaki Gunung Rinjani, Kamis (23/8/2018).
Begitu juga dengan kekhawatiran yang disampaikan Nursa'ad, pegiat jalur pendakian ke Gunung Rinjani dari gerbang rimba kawasan Senaru ini mengaku penghasilan sampingan dari produk perkebunan kopinya belum bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga.
"Kami yang punya sampingan kopi saja belum bisa mencukupi apalagi yang tidak punya sampingan," ujarnya.
Hal senada turut disampaikan Rusmala, pemilik homestay di kawasan Kaki Gunung Rinjani bagian Timur, wilayah Sembalun, mengatakan, tempat penginapannya itu sepi dari para pengunjung sejak gempa pertama berkekuatan 6,4 Skala Richter pada akhir Juli 2018.
"Sepi, kalau pun ada yang menginap, itu pun biasanya dari relawan," ujarnya.
Untuk hari biasanya, khusus pada Agustus ini merupakan kunjungan wisata paling tinggi. Bahkan harga yang ditawarkan untuk satu malamnya bisa mencapai Rp1 juta, itu pun laku habis.
"Sekarang yang kami kasih harga normal saja, Rp300 ribu semalamnya, masih sepi. Memang sepinya karena dampak gempa ini," ucap Rusmala.
Hal senada dikeluhkan Rahmat, pelaku usaha travel and tour dari Kota Mataram. Menurutnya, untuk musim tingginya kunjungan wisata ke Gunung Rinjani di tahun ini jauh menurun dibandingkan tahun sebelumnya.
"Mulai bulan ini sama bulan depan, 750 tamu, ada yang satu grup itu 40 orang, 50 orang, semua cancel," kata Rahmat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: