Dalam setahun terakhir, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengakui banjir aduan dari nasabah layanan peer to peer lending atau financial technology (fintech). Paling banyak yang diadukan terkait tunggakan pembayaran hingga ancaman penyebaran foto pribadi.
Ketua YLKI Tulus Abadi mengungkapkan hampir 90% aduan datang dari konsumen yang menunggak pembayaran pinjaman. Ironisnya, para nasabah tidak berpikir panjang terhadap risiko serius yang akan dihadapi nantinya.
"Konsumen maunya cepat. Persyaratannya, percakapan via telpon, lalu mengambil foto-foto pribadi konsumen dengan baju minim yang kemudian disebarluaskan. Tentu ini mengganggu psikologis, agar mereka mengembalikan cicilan utang," ungkap Tulus saat ditemui di kantornya, Duren Tiga, Jakarta, Jumat (31/8/2018).
Pengaduan ini, kata Tulus, tidak hanya dialami nasabah fintech ilegal, tetapi juga fintech yang telah terdaftar resmi di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebelumnya perwakilan perusahaan fintech telah mendatangi kantor YLKI untuk menjelaskan masalah tersebut.
"Agak sulit posisinya kalau seperti itu karena literasinya masih rendah, sehingga konsumen tidak mengerti dan mereka tahu-tahu diteror oleh perusahaan kredit online (fintech) karena dia menunggak," tambahnya.
Dikatakan Tulus, saat ini YLKI masih menerima laporan yang intensitasnya relatif tinggi, menyusul diumumkannya fintech tidak berizin oleh Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi atau Satgas Waspada Investasi OJK.
"Dalam catatan kami, jumlah kredit online yang beroperasi 300-an dan sekitar 64-65 perusahaan kredit online itu terdaftar di OJK. Ini suatu hal yang ironis karena sekitar 25% kredit online yang sudah terdaftar," tuturnya.
Lebih jauh ia menilai, pinjaman berbasis online berangkat dari fenomena ekonomi digital, di satu sisi berdampak positif, tetapi di sisi lain masih banyak dampak negatifnya, baik dari sisi hulu maupun hilir.
"Jadi saya kira pemerintah tidak hanya bisa bicara sisi positifnya bahwa ada katakanlah, Rp26 triliun yang mengucur dari kredit online karena banyak sekali pelanggaran yang dilakukan perusahaan kredit online," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Dina Kusumaningrum
Editor: Rosmayanti