Perang Dagang AS vs China Mulai Lagi, Tim Pemerintah Baru Harus Racik Strategi Jitu
PT Aberdeen Standard Investments Indonesia (Aberdeen) menilai jika perang dagang terbuka antara dua kutub perekonomian dunia yakni Amerika Serikat (AS) dan China yang baru saja dimulai tidak akan memberikan dampak langsung bagi Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Direktur Investasi Aberdeen Standard Investments Indonesia, Bharat Joshi, di Jakarta, Kamis (16/5/2019).
“Kalau kita lihat ke Indonesia, secara langsung tidak akan berdampak besar. Dari sisi ekspor, Indonesia hanya mengekspor batu bara ke China. Saya melihat imbas terbesarnya justru ke inflasi,” jelas Bharat.
Baca Juga: Apa Itu Perang Dagang AS-China?
Ia menuturkan, jika mata uang dolar AS terus menguat di tengah gejolak perang dagang maka akan terjadi pelemahan di rupiah. “Kalau rupiah lemah, akan terjadi beban bagi APBN. Banyak harga akan naik karena banyak bahan baku mentah yang diimpor, sehingga akan terjadi lebih banyak inflasi,” jelasnya.
Untuk itu, ia berharap tim pemerintahan baru akan dapat mempertahankan stabilitas yang saat ini sudah berjalan cukup baik, dan menyiapkan strategi khusus guna meredam kenaikan harga-harga agar imbasnya tidak begitu dirasakan masyarakat.
Baca Juga: Ini Dampak Perang Dagang Cina VS Amerika Terhadap Indonesia
Salah satu cara untuk meredam gejolak inflasi adalah dengan memastikan suku bunga bisa stabil. “Kalau inflasi stabil, akan ada kemungkinan untuk bisa menurunkan suku bunga, misal 25 bps. Agar perekonomian Indonesia, terutama di beberapa sektor tertentu, bisa lari lagi,” jelas Bharat.
Ia memperkirakan perang dagang antar kedua negara lebih menciptakan resesi ekonomi teknikal bagi AS dan China. Jika AS terus menaikkan bea masuk produk asal China, maka jumlah barang yang masuk ke AS akan berkurang yang menyebabkan harga naik. Demikian halnya China yang akan kesulitan menemukan pembeli dari produk-produk buatannya.
Baca Juga: Dari Perang Dagang hingga Pemilu, Semuanya Bikin IHSG Kelu
Dalam perang dagang, pasti akan ada yang menang ataupun akhirnya mengalah. Melihat ketegangan perdagangan global, besar kemungkinan bisnis baru akan mengalir ke Asia Tenggara. Banyak bisnis yang diharapkan mendiversifikasikan rantai pasokan mereka ke ASEAN. Ini akan memberikan dampak bagi para pemasok lokal untuk mendapatkan manfaat dari pergeseran pesanan ke kawasan tersebut. Dalam hal ini, Indonesia juga berada pada posisi yang baik untuk menangkap peluang.
“Saya melihat di dua skenario ini, Indonesia tetap menang. Kalau ekonomi akan terus berkembang, Indonesia untung. Kalau AS dan China tetap berperang, Indonesia juga tidak perlu menaikkan suku bunga,” paparnya.
Menurut Bharat, sangat penting bagi pemerintah, investor maupun pelaku bisnis di Indonesia untuk bisa melihat perkembangan situasi ekonomi dalam negeri maupun global dari sudut pandang yang positif.
Situasi perang dagang antara AS dan China yang akan menimbulkan risiko inflasi dan gejolak nilai kurs sepanjang tahun ini, menurutnya masih lebih baik dibandingkan situasi yang dihadapi Indonesia tahun-tahun sebelum.
Baca Juga: Perang Dagang Muncul Lagi, Saham Asia Kompak Berguguran
Jika melihat catatan sekitar 3 tahun silam, Indonesia harus menghadapi banyak tantangan mulai dari suku bunga AS yang naik, dominasi dolar terhadap rupiah, harga minyak yang juga naik, inflasi, serta harga batu bara yang turun.
“Itu semua datang dari sentimen. Saya yakin investor itu bukan komputer, tetapi manusia yang sedang ‘wait and see’, menunggu sentimen. Contoh, kalau kamu datang ke kantor negatif, maka semua akan menjadi negatif. Padahal kita seharusnya berpikiran optimis, di saat semuanya berpikiran negatif,” tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: