Pemerintahan melalui Kementerian Pertanian (Kementan) dalam hal ini Direktorat Jenderal (Dirjen) Perkebunan membuat gebrakan dengan mengeluarkan Surat Edaran No. 593/TI.050/E/7/2019 tanggal 19 Juli 2019 perihal Penerapan Sistem Pembelian Tebu (SPT). Hal ini menunjukkan bahwa dengan keluarnya surat edaran ini mekanisme sistem SPT akan menggantikan mekanisme sebelumnya, yaitu Sistem Bagi Hasil (SBH) yang sudah berjalan.
Pihak Dirjen Perkebunan mengatakan, Kementan berupaya melalui sistem pembelian tebu atau beli putus ini petani bisa mendapatkan harga yang jelas. Pasalnya, dengan sistem yang dulu, mekanismenya berbeda.
"Sebelumnya, petani kan belinya dengan gula yang digiling. Tebu dibawa ke pabrik gula kemudian digiling, nanti sekian persen dari gula itu jadi ongkos giling. Nah, sekarang petani benar-benar menerima pembayaran atas tebunya, tidak harus menunggu rendemen lagi," ujar Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementan, Agus Wahyudi disela-sela acara Silaturahmi dan Konsolidasi Percepatan Investasi Sub Sektor Perkebunan di Aditorium Gd. D Kantor Pusat Kementan, Jakarta, Kamis (19/9/2019).
Baca Juga: Kementan Capai Target Pembangunan 10 Pabrik Gula
Agus menyampaikan bahwa mekanisme SPT merupakan suatu cara pembelian Tebu milik petani oleh Pabrik Gula (PG) yang harganya ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan kualitas tebu. Kualitas tebu yang dimaksud adalah tingkat kemanisan, kebersihan, dan kesegaran tebu pada saat diterima di PG. Sistem beli putus tebu ini artinya petani tidak lagi menanggung situasi rendemen di PG.
Mekanisme beli putus ini ditetapkan berdasarkan Harga Pembelian Tebu Pekebun (HPP) ditetapkan sebesar Rp510.000/ton pada tingkat rendemen 7%. Jika rendemen lebih tinggi atau kurang dari 7%, maka harga tebu disesuaikan secara proposional.
Lebih lanjut, perhitungan SPT dapat dihitung dengan rumus (R/7% X 510/kg). Pembayaran yang dilakukan PG sesuai dengan kualitas tebu paling lambat tujuh hari setelah tebu diterima oleh PG.
Baca Juga: Lahan Tebu Dinilai Jadi Kendala Revitalisasi Industri Gula
"Skema baru membuat hubungan PG dan petani menjadi transaksional atau murni jual-beli biasa, " tutur Agus.
Menurut Agus, pada musim giling tahun 2019 ini rendemen harian petani rata-rata 9–10 %, hal ini bila dikalkulasikan petani akan memperoleh pendapatan Rp651.000/ton – Rp721.000/ton.
Agus berharap petani memperoleh hasil sesuai dengan kualitas tebu yang dihasilkan, dengan kata lain petani akan memperoleh pendapatan sesuai dengan hasil rendemen yang mereka peroleh. Setelah itu petani akan memperoleh hasil paling lambat tujuh hari setelah penerimaan tebu oleh PG.
"Kita sedang merancang Permentan yang mengatur tentang Kemitraan dan beli putus yang diharapkan akan terealisasi secepatnya, sehingga petani tebu juga akan terlindungi dan petani akan lebih maju tentunya, " tutup Agus.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Clara Aprilia Sukandar
Tag Terkait: