Kondisi politik Indonesia, akhir-akhir ini, sedang memanas. Pelbagai peristiwa politik menghiasi lini berita setiap hari. Menurut peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan, hal tersebut dapat membesar ancaman resesi untuk Indonesia.
Resesi ekonomi kini menjadi ancaman baru bagi perekonomian global. Sejumlah negara maju bahkan tidak lepas dari ancaman ini. Indonesia, sebagai negara yang ikut terdampak ketidakpastian ekonomi global, perlu mengantisipasi ancaman resesi. Tanpa adanya langkah antisipasi, situasi politik dalam negeri yang belum stabil membuat Indonesia rawan terkena resesi ekonomi.
Pingkan mengatakan bahwa langkah preventif yang dilakukan pemerintah sangat diperlukan untuk melindungi perekonomian nasional dari gejolak ekonomi global. Kondisi perekonomian Indonesia saat ini masih tergolong cukup realistis dengan target pertumbuhan ekonomi mencapai 5,3% di tengah kondisi riil saat ini yang masih bertengger pada level 5,08%. Walaupun demikian, pemerintah tetap perlu terus mewaspadai ancaman resesi global yang mungkin terjadi pada tahun depan.
Baca Juga: CIPS: Pajaknya Sudah Dipotong, Riset dan Inovasi Mestinya Meningkat
Ia menambahkan, setidaknya ada dua faktor utama yang perlu diantisipasi oleh pemerintah dalam menyikapi gejolak ekonomi global yang berada di ambang resesi ini. Pertaman adalah faktor internal yang mencakup stabilitas kondisi sosial-politik yang berdampak pada pertumbuhan investasi. Dinamika sosial-politik dalam negeri dalam beberapa minggu belakangan ini kian dinamis. Hal ini bisa dilihat dengan masih adanya gelombang demonstrasi menuntut parlemen meninjau kembali beberapa RUU yang dinilai mengandung pasal-pasal kontroversial dan merugikan masyarakat. Masyarakat dari berbagai lapisan turun ke jalan menyuarakan aspirasi mereka. Sayangnya, beberapa di antara demonstrasi tersebut berujung ricuh dan mendorong sentimen negatif dalam pasar sehingga membuat investor mengambil langkah wait and see.
"Faktor berikutnya adalah faktor eksternal yang mencakup kondisi perekonomian dari negara-negara mitra dagang maupun para penanam modal asing. Hal ini tentu mengancam iklim investasi di Indonesia. Pemerintah harus waspada karena resesi ekonomi dapat menyebar dengan cepat," ungkap Pingkan.
Melihat kondisi Singapura yang saat ini juga tengah mengalami perlambatan yang cukup signifikan pada dua kuartal terakhir dengan angka pertumbuhan yang hanya berkisar pada level 0 sampai 0,1% di tahun 2019, Indonesia terancam mendapatkan hambatan ekspor sebesar 7,8% jika bertumpu pada persentase ekspor Indonesia ke Singapura pada 2018 silam.
Memasuki kuartal terakhir tahun 2019, perekonomian global masih kian melesu. Koreksi atas proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti World Bank, International Monetary Fund, dan juga Organization for Economic Cooperation and Development terjadi silih berganti sejak dua kuartal belakangan ini. Dari proyeksi ketiga Lembaga tersebut, pertumbuhan ekonomi global berada di rentang 2,6% hingga 3,2% dari yang semula berada pada rentang 2,9-3,3%.
Seiringan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut, kemungkinan akan adanya resesi global dalam waktu dekat kembali menjadi sorotan. Setidaknya, tiga negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman menjadi sangat rentan terhadap kemungkinan resesi dalam waktu dekat. Perang dagang antara Amerika Serikat dengan China yang sudah bergulir lebih dari satu tahun lamanya belum memperlihatkan tanda-tanda akan berakhir.
"Setidaknya kita masih harus menunggu hingga kedua negara tersebut bertemu pada 10 Oktober mendatang untuk mengetahui perkembangan kebijakan yang akan diambil oleh Amerika dan China menyikapi tensi perdagangan di antara kedua negara dengan tingkat konsumsi tertinggi di dunia itu," tambahnya.
Di sisi yang lain, perekonomian di benua biru juga tidak jauh dari kemungkinan resesi yang menghantui akibat dari adanya tensi geopolitik antara Inggris dengan Uni Eropa menjelang keputusan final Brexit yang akan ditetapkan pada 31 Oktober mendatang. Inggris dan Jerman masing-masing mengalami perlambatan ekonomi sepanjang tahun 2019, dilansir dari Office for National Statistics UK, memasuki kuartal ketiga pertumbuhan ekonomi Inggris stagnan dengan perlambatan 1,8% dari kuartal sebelumnya. Sementara itu, di Jerman, Germany National Statistics Office menyatakan bahwa kontraksi ekonomi terus terjadi selama 9 bulan belakangan dengan pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2019 berada pada level 0,4%.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Puri Mei Setyaningrum
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: