Autonomous Rail-Rapid Transit (ART) bakal digunakan dalam sistem transportasi di ibu kota baru di Kalimatan Timur. Moda transportasi publik ini sangat futuristik, tidak memakai rel ataupun kabel listrik.
Moda transportasi ini menggunakan rel virtual dan digerakkan dengan tenaga baterai yang diklaim bebas polusi. Pengisian ulang daya dilakukan setiap 10 menit untuk perjalanan sejauh 20 kilometer. Kereta otonom ini memiliki kecepatan maksimum 70 kilometer per jam. Dari satu titik stasiun ke stasiun lainnya ditempuh dalam waktu minimum 2 menit.
"Teknologi seperti MRT (mass rapid transit) dan ART akan kami terapkan di sana. Teknologi itu sendiri masih belum terlalu banyak dilakukan. Tetapi dengan semangat yang baik, dengan kemampuan teknologi yang dimiliki Inka, kereta api, kami yakin dapat melakukan itu semua," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam sebuah forum diskusi perhubungan di Jakarta, Kamis (10/10/2019).
Baca Juga: Nyaman Berjalan Kaki di Ibu Kota Baru
Tak seperti commuter line yang bisa mencapai 10-12 gerbong kereta atau MRT enam gerbong kereta, rangkaian ART hanya tiga gerbong kereta. Kapasitas penumpangnya pun tergolong kecil, hanya 307 penumpang.
Namun, kereta otonom ini punya banyak keunggulan dibanding dua jenis kereta lainnya. Lebih fleksibel, tepat waktu, ekonomis, dan ramah lingkungan karena mnggunakan green energy.
Menteri Budi dalam presentasinya memaparkan, pembiayaan konstruksi ART lebih murah, hanya Rp50-60 juta per kilometer. Sementara MRT bisa mencapai Rp1.090 juta per kilometer. Masa konstruksi ART pun lebih singkat. Harga per set kereta hanya Rp33,6 juta. Jauh lebih murah ketimbang MRT misalnya, yang mencapai Rp100 juta per set kereta.
Baca Juga: Status Ibu Kota Lepas, Jakarta Menuju Kota Bisnis Berkelas
ART pertama kali diluncurkan di China pada 2017 oleh perusahaan kereta api milik pemerintah negara itu, China Railway Rolling Stock Corp (CRRC). Uji coba dilakukan setahun kemudian.
Amerika Serikat menyusul tak lama setelah itu, tepatnya di Kota Milwaukee, dengan dukungan perusahaan yang sama. ART di AS dibangun untuk menghubungkan perkantoran dan sekolah. Sementara di China, yang memelopori penggunaan transportasi canggih ini adalah Zhuzhou, sebuah kota besar di Provinsi Hunan.
Mengutip China Daily, kendaraan massal ART disebut otonom karena menggunakan teknologi sensor yang dapat membaca dimensi jalanan dan dapat merencanakan rute perjalanannya. Penumpang cukup memindai kode QR untuk mendapatkan tiket dan naik kendaraan ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Lili Lestari
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: