Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Memanfaatkan Peluang Perang Dagang untuk Tarik Investasi ke Indonesia

Memanfaatkan Peluang Perang Dagang untuk Tarik Investasi ke Indonesia Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perang dagang antara Amerika Serikat dan China bisa menjadi peluang untuk menarik investasi ke Indonesia.

Mimik wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi) terlihat sangat serius dan badannya agak sedikit merunduk ketika dirinya menyampaikan kekecewaan karena tidak ada satu pun perusahaan yang mau merelokasi basis produksi dari China ke Indonesia. Padahal, ada peluang menarik investasi ketika perusahaan asing ramai-ramai melakukan migrasi dari China sebagai buntut fenomena perang dagang.

Presiden Jokowi mengatakan ada sebanyak 33 perusahaan yang merelokasi usaha dari China ke negara tetangga Indonesia, yakni 23 perusahaan memilih pindah ke Vietnam dan 10 perusahaan pindah ke Malaysia, Kamboja, dan Thailand.

"Tidak ada yang ke Indonesia. Tolong ini digarisbawahi. Hati-hati, berarti kita memiliki persoalan yang harus diselesaikan," katanya saat mengadakan rapat terbatas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, awal September.

Baca Juga: AS Mulai Perang Dagang Lagi. Dengan ...

Jokowi mengatakan Indonesia kalah bersaing dengan negara tetangga dalam menarik investasi karena perizinan di dalam negeri yang sangat rumit. Ia membandingkan dengan pengurusan izin di Vietnam yang hanya membutuhkan waktu sekitar dua bulan. Adapun, pengurusan izin di Indonesia bisa membutuhkan waktu hingga bertahun-tahun.

Merupakan hal yang wajar jika Presiden Jokowi merasa sangat kecewa pada saat itu. Hal itu karena investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) merupakan faktor kunci menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah kondisi perlambatan ekonomi dunia dan potensi terjadi resesi. Selain itu, investasi asing langsung juga berpotensi untuk membuka banyak lapangan kerja di Tanah Air.

Memanfaatkan Perang Dagang

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mendorong pemerintah untuk memanfaatkan perang dagang AS dan China menjadi keuntungan bagi perekonomian Indonesia. Bhima menjelaskan, dampak dari perang dagang membuat investor dari China atau AS akan mencari negara lain untuk kegiatan produksi.

Sayangnya, Indonesia tertinggal jika dibandingkan Vietnam yang dinilai mampu meraup keuntungan dari perang dagang yang terjadi AS dan China. Vietnam menjadi salah satu negara tujuan utama karena kemudahan dan jaminan yang diberikan untuk para investor.

"Keunggulan komparatif Vietnam dibandingkan Indonesia itu bukan dari upah buruh yang lebih murah tapi justru dari insentif yang diberikan yang saling berjarak antara pemerintah pusat dan daerah itu yang tidak terjadi di Indonesia," ujarnya di Jakarta.

Indef mencatat perang dagang berdampak pada peningkatan investasi (FDI) Vietnam sebesar 8,05 persen atau jauh lebih besar dibandingkan dengan peningkatan investasi Indonesia yang hanya 1,02 persen. Di sisi lain, perang dagang telah menyusutkan investasi AS dan China masing-masing sebesar 3,91 persen dan 2,67 persen.

Menurut Bhima, Indonesia bisa memanfaatkan peluang perang dagang Amerika dan China dengan mendorong volume ekspor terutama dari sektor pertanian. 

"Investasi harus didorong untuk meningkatkan ekspor Indonesia. Hal ini bertujuan agar, baik dalam jangka pendek maupun panjang, menyelamatkan neraca perdagangan Indonesia," sebutnya.

Indef menekankan upaya perwujudan investasi untuk ekspor perlu dibarengi dengan beragam upaya penting melalui kemudahan akses lahan untuk investor, pembenahan sistem ketenagakerjaan, pembenahan sistem perpajakan untuk usaha dalam negeri, peningkatan iklim investasi melalui persaingan usaha yang sehat, pemberian fasilitas fiskal yang sesuai dengan kebutuhan investor, serta fasilitas dan promosi investasi di dalam dan di luar negeri.

"Bagi Indonesia, efisiensi birokrasi adalah modal utama untuk meningkatkan kepercayaan asing berinvestasi," tegasnya.

Meningkatkan Daya Saing

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat ada lima hal yang menjadi penghambat bagi investor untuk menanamkan modal di Indonesia.

Kelima hal tersebut ialah regulasi berbelit, sektor pajak yang tak ramah kepada investor, proses akuisisi lahan dan izin bangunan yang membutuhkan waktu lama, tenaga kerja kurang terampil, dan BUMN yang terlalu mendominasi kegiatan usaha di Tanah Air.

Kepala BKPM Thomas Lembong mengatakan regulasi dan perizinan berbelit memiliki korelasi dengan biaya mahal dan ongkos besar yang harus dilakukan oleh investor. Ia mengatakan pengurusan perizinan pasti membutuhkan biaya.

Minimal, seorang investor harus membayar gaji karyawan yang mengurus perizinan tersebut. Nah, jika ada ribuan izin di Indonesia maka biaya yang dikeluarkan oleh investor akan semakin besar.

"Perusahaan-perusahaan itu kalau sudah mencapai skala tertentu maka harus menggaji puluhan orang yang tugasnya hanya memproses izin-izin, syarat-syarat, dan kewajiban-kewajiban itu. Dan ini cuma ada di Indonesia, di negara lain tidak ada," katanya sebagaimana dikutip Warta Ekonomi di Jakarta, Sabtu (19/10/2019).

Pria yang akrab disapa Tom Lembong ini menegaskan pemerintah tengah melakukan pembenahan untuk memperkuat daya tarik Indonesia kepada investor dalam menanamkan modal di Tanah Air. Ia mengatakan fokus pemerintah ialah pada aspek peringkasan regulasi dan percepatan perizinan. Ada beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut.

"Pertama adalah bekerja sama dengan DPR, pihak legislatif," katanya.

Thomas Lembong menjelaskan kerja sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat diperlukan untuk merevisi dan memperbaiki undang-undang yang terbit dalam beberapa tahun terakhir. Ia mengatakan banyak kewajiban dan persyaratan yang menghambat investasi di dalam undang-undang tersebut.

"Kewajiban dan persyaratan itu sebenarnya tidak perlu karena justru memberatkan para pelaku usaha," sebutnya.

Ia mengatakan upaya kedua yang dilakukan oleh pemerintah adalah memangkas ribuan aturan yang terdapat di kementerian dan pemerintah daerah. "Di dalam tubuh eksekutif sendiri ada banyak sekali syarat, izin, dan kewajiban yang bisa dipangkas," tegasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: