Data Direktorat Jenderal Perkebunan mencatat hingga akhir 2018, total lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14.309.256 hektare. Rinciannya, kepemilikan perkebunan rakyat seluas 5.807.514 hektare, perkebunan besar negara (PBN) 713.121 hektare, dan perkebunan besar swasta (PBS) seluas 7.788.621 hektare.
Perkebunan rakyat tersebut terbagi dua yakni kebun milik petani mandiri seluas 5.090.514 hektare dan kebun petani plasma sekitar 717.000 hektare. Perkebunan kelapa sawit plasma adalah perkebunan rakyat yang dalam pengembangannya diintegrasikan pada PBS maupun PBN.
Sebagaimana tertuang dalam Permentan nomor 26 tahun 2007, PBS dan PBN diwajibkan membangun kebun plasma seluas 20% dari total konsesi lahan. Namun, kenyataannya PBS hanya membangun kebun plasma sekitar 8% dari total kebun sawit yang dimilikinya.
Baca Juga: Taktik Negosiasi Indonesia-UE, Sudah Siapkah?
Hubungan antara PBS dengan petani plasma termasuk ke dalam simbiosis mutualisme, yang mana petani plasma memperoleh keistimewaan berupa harga tandan buah segar (TBS) yang lebih tinggi dibandingkan petani mandiri.
Selain itu, ada kepastian dan keberlanjutan pasar sehingga petani plasma tidak perlu khawatir dengan tujuan pasar akhir setelah panen. Meski demikian, masih terdapat beberapa masalah yang disebabkan oleh petani plasma terkait pengelolaan kebun yang diserahkan sepenuhnya oleh perusahaan inti.
Permasalahan tersebut di antaranya pemeliharaan tanaman yang tidak dilakukan dengan benar, rendahnya kualitas sawit yang dihasilkan karena kemampuan menyerap teknologi yang masih rendah, terjadi degradasi lahan akibat aplikasi pupuk yang berlebihan, serta lemahnya kerja sama antar-institusi terkait dalam memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia (SDM).
Baca Juga: Sudah Tua, Sawit Rakyat Butuh Diremajakan
Input model pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut yakni optimalisasi SDM dengan memberikan pelatihan, penyuluhan, dan pendidikan terkait kelapa sawit; menggunakan varietas bibit unggul, penggunaan sarana produksi yang tepat dosis dan konsentrasi; dan memperhatikan kesesuaian lahan untuk budi daya.
Model pengelolaan berkelanjutan yang dirancang untuk periode 2010–2035 diharapkan mampu memenuhi aspek biofisik, seperti peningkatan produksi TBS, aspek ekonomi terjadi peningkatan pendapatan petani, dan aspek sosial terjadi peningkatan kualitas SDM petani sawit plasma.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: