Ada banyak faktor yang menyebabkan tingginya harga pangan. Beberapa di antaranya adalah masalah teknis dalam pertanian. Selain itu, panjanganya rantai distribusi pertanian menyebabkan tingginya biaya transportasi yang pada akhirnya akan memengaruhi harga jual di tingkat konsumen. Industri pengolahan makanan dan minuman pun mengalami tantangan tersendiri, seperti banyaknya regulasi yang menambah ongkos dan adanya keterbatasan impor bahan baku.
Sambil isu-isu ini terus digarap oleh kementerian terkait, pemerintah terus membantu masyarakat miskin mengakses bahan pangan yang cukup melalui program perlindungan sosial berupa bantuan pangan. Bantuan pangan ini sangat penting dan patut diapresiasi. Namun, bantuan ini hanya bersifat temporer dan kurang menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Baca Juga: CIPS: Pemerintah Perlu Buka Pasar Baru dan Harmonisasi Regulasi
Salah satu opsi lain yang bisa menjangkau seluruh masyarakat adalah impor. Menurut CIPS, impor bisa mendatangkan ketersediaan pangan yang beragam, berkualitas, dan terjangkau dari negara lain sesuai dengan keunggulan komparatifnya. Hal ini, lanjut CIPS, bukan menunjukkan ketergantungan pada negara luar, melainkan menunjukkan kemampuan untuk memanfaatkan pasar internasional untuk kebutuhan pangan dalam negeri.
Sayangnya, impor pun masih sering terhambat oleh regulasi proteksionis dan proses rumit yang dibumbui politik dan birokrasi. Hasil penelitian CIPS menunjukkan jika proses impor beras dipermudah, Bulog sebagai satu-satunya importir beras bisa berhemat sebesar lebih dari Rp303 miliar selama 2010-2017 dan masyarakat pun bisa lebih menikmati harga beras yang lebih murah.
Isu impor ini memang sensitif, terutama karena menyangkut nasib para petani Indonesia. Namun, menurut CIPS, kenyataannya, kebijakan proteksionis perdagangan pangan Indonesia malah gagal memberi proteksi, justru merugikan petani. Petani Indonesia merupakan net consumer yang berarti mereka lebih banyak membeli daripada memproduksi pangan. Artinya, kerugian petani dari mahalnya harga pangan lebih besar dari keuntungan yang mereka dapatkan dari perlindungan sektor pertanian Indonesia. Jika memang mau melindungi petani, kebijakan proteksionis bukanlah jawabannya. Pemerintah seharusnya mengeluarkan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan inovasi dan meningkatkan produktivitas pertanian yang bisa mendorong petani Indonesia makin kuat dan kompetitif.
Simpulan CIPS, Kementerian Pertanian perlu terus bekerja untuk memperbaiki sektor pertanian Indonesia, bersama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk mengembangkan sistem irigasi pertanian dan infrastruktur. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk terus mengundang investasi di sektor pangan dan agrikultur serta dukungan kebijakan kementerian dan lembaga lainnya.
Perkembangan sektor pertanian harus juga diikuti oleh perbaikan perdagangan pangan sehingga konsumen tidak terlupakan. Kementerian Perdagangan juga perlu memudahkan impor sehingga bisa memastikan akses ke komoditas pangan yang terjangkau.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum