Lanjut CIPS, Harga beras domestik secara konsisten lebih tinggi dari harga internasional dan terus meningkat secara bertahap sejak 2009. Pada Juli 2019, harga beras dalam negeri dua kali lipat dari harga internasional yaitu sebesar Rp5.923/kilogram. Sementara, harga beras di Indonesia berkisar antara Rp9.450 untuk beras medium hingga Rp12.800 untuk beras premium.
Pemerintah ingin memangkas peraturan yang menghambat investasi dan ingin meningkatkan ekspor Indonesia. Namun, menurut CIPS, keinginan itu bertolak belakang dengan kebijakan proteksi impor. Birokrasi yang panjang dan memakan waktu lama, pembatasan kuota dan perizinan, penentuan waktu impor, dan hambatan nontarif lainnya akan membawa dampak negatif bagi investasi dan nilai ekspor. Kinerja investasi dan ekspor Indonesia pada akhirnya akan memengaruhi perekonomian Indonesia secara agregat.
Baca Juga: CIPS: Sudahkah Indonesia Mencapai Ketahanan Pangan?
"Saat ini banyak produk Indonesia membutuhkan bahan baku yang tidak dapat disediakan oleh dalam negeri sehingga butuh melewati impor. Kalau pemerintah memberikan pembatasan terhadap impor yang berlebihan, tidak hanya akan berdampak pada kerugian yang dirasakan oleh negara eksportir, tetapi dapat menghambat pertumbuhan investasi di dalam negeri. Belum lagi produk Indonesia yang diekspor akan mengalami penurunan nilai," ungkap Galuh.
Proteksi dan hambatan nontarif dalam perdagangan ini tercermin pada peringkat Indonesia di International Trade Barrier Index yang dirilis Property Rights Alliance. Indonesia berada di posisi 72 dari 86 negara. Di antara negara-negara ASEAN, Singapore menduduki peringkat pertama dalam indeks ini. Indonesia kalah dari Malaysia dan Vietnam yang duduk di peringkat 55 dan 67. Namun, Indonesia masih lebih baik dari Filipina dan Thailand yang berada di peringkat 78 dan 83.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: