Modus apa yang paling sering digunakan pelaku?
Pakar hukum pencucian uang, Paku Utama, menilai modus yang paling sering digunakan oleh pelaku TPPU, yang berawal dari tindak pidana korupsi, adalah pemecahan harta hasil tindak pidana.
"Modus yang paling sering dipakai, terutama untuk tindak pidana korupsi ya, (yaitu) memecah nominal dalam beberapa rekening atas nama banyak orang," ujarnya.
Ia menjelaskan, dengan berbagai batasan yang diterapkan lembaga perbankan dalam hal jumlah dana transfer dan profil nasabah, pelaku tidak mungkin menempatkan uang hasil tindak pidananya pada satu rekening di saat bersamaan. Yang bersangkutan akan memanfaatkan rekening lain, biasanya lebih dari satu, untuk mengamankan uang haram miliknya.
Sementara modus berikutnya yang Paku nilai juga sering digunakan pelaku adalah utang-piutang.
"Sudah gitu kalau melibatkan jumlah yang lebih besar, biasanya strukturnya lebih kompleks, melibatkan struktur pinjam-meminjam, utang-piutang, bikin badan usaha baik di dalam maupun di luar negeri, habis itu bisa juga mereka mengintegrasi ke dalam pembiayaan," bebernya.
Untuk menjelaskannya, Paku mengandaikan ketika seorang pelaku korupsi menerima uang ratusan miliar rupiah, ia akan meminta orang lain untuk membuat perjanjian utang-piutang dengannya dalam upaya mengaburkan sumber uang tersebut.
"Jadi, Anda bikin usaha dalam bentuk PT, perseroan terbatas, (misalnya) bikin restoran seolah-olah Anda dapat pinjaman (utang) dari pihak ketiga."
"Pihak ketiganya apakah bank? Belum tentu, bisa jadi Anda bikin lagi perusahaan pembiayaan punya Anda sendiri, tapi atas nama orang lain," tuturnya.
Pembiayaan tersebut, maksud Paku, berasal dari uang hasil korupsi tadi.
Contoh kasus. "Misalnya kita contoh kasusnya Nazaruddin," imbuh Paku Utama.
Mantan bendarahara umum Partai Demokrat itu divonis enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun, setelah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Ketua majelis hakim, Ibnu Basuki Widodo, dalam sidang putusan yang berlangsung 15 Juni 2016 lalu, menyatakan bahwa Nazaruddin mencuci uang suap yang diterimanya dengan cara mengalihkan hartanya Rp500 miliar dan menyamarkan harta kekayaan Rp80 miliar.
"Nazaruddin itu punya banyak PT (perseroan terbatas) untuk nyuci uang hasil korupsinya, tapi nama dia enggak pernah ada."
Ibnu mengatakan bahwa Nazaruddin telah menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, dan menukarkannya dengan mata uang atau surat berharga, atau perbuatan lain atas harta kekayaannya.
Nazaruddin juga disebut terbukti melakukan perbuatan dengan sengaja menempatkan hartanya ke penyedia jasa keuangan, membayarkan atau membelanjakan hartanya, dan menitipkannya dengan maksud mencuci harta kekayaannya.
Kasus serupa lainnya, yang diklaim Paku sebagai kasus TPPU pertama yang berhasil dikuak, adalah kasus korupsi dan pencucian uang mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Bahasyim Assifie.
Pada 2011, Bahasyim divonis terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima suap dari wajib pajak Kartini Mulyadi senilai Rp1 miliar ketika menjabat Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta Tujuh pada Februari 2005.
Ia juga divonis bersalah melakukan praktik money laundering karena menyimpan dana hasil tindak pidana pada lembaga keuangan dan memecahnya ke sejumlah rekening atas nama istri dan anak-anaknya.
Selain itu, di persidangan, Bahasyim juga tidak bisa membuktikan harta kekayaan senilai Rp61 miliar miliknya sebagai bukan hasil tindak pidana, ketika majelis menerapkan asas pembuktian terbalik. Harta itu diklaimnya diperoleh dari sejumlah usaha, termasuk kerja sama bisnis hiburan, restoran dan kosmetik di Filipina dan China, meski kemudian dirinya gagal menunjukkan dokumen pendukung.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti