Menahkodai sebuah perusahaan memang sebuah tanggung jawab yang tidak mudah. Terlebih pada masa awal perusahaan berdiri. Tak sedikit waktu untuk kehidupan pribadi yang dikorbankan demi mengayomi perusahaan.
Menjadi nahkoda Qasir, perusahaan yang bergerak pada points of sales atau kasir, tak urung menyita banyak waktu Michael untuk menimang Qasir yang masih belia. Namun, posisi yang diemban pria yang kerap disapa Mike tersebut tak menghalanginya melakukan apa yang disukainya.
Berikut wawancara Warta Ekonomi dengan CEO Qasir Michael Johan Williem
Tatonya bagus pak, ada hobi tato?
Hobi enggak sih, kalau tato ini buat ngingetin saya untuk momen-momen. Artinya, setiap tato ada momennya. Kebanyakan buat ngingetin saya, pernah di mana saya dulu.
Kalau itu artinya apa pak?
Kalau ini kan Isa ya, Yesus, dia kan sedang berdoa di Getsemani, dia kan bilang maunya dia apa, tapi dia berkata Tuhan berkata lain, maka terjadilah. Saya melihatnya, berserah pada Yang Kuasa penting banget. Karena by the end of the day, kadang-kadang kita lupa berterima kasih, kita sering minta kalau berdoa. Apa yang terjadi, ya terjadilah. Ini membantu ingatkan saya, kalau lagi susah, kalau lagi senang, ya apa yang terjadi, ya terjadilah.
Ada tato lagi enggak pak?
Ada, muka anak saya di sini, buat ingetin. Ini dulu, masa tumbuh, serem kalau tumbuh. Saya senang art (seni) sih dari kecil, tapi kalau hobi saya senang masak dari dulu. Istri saya yang ngajarin saya masak.
Saya punya warung juga. Karena Qasir ini kan beda sama aplikasi lain. Kalau aplikasi lain kan kita bisa nyoba sendiri sebagai user. Kalau Qasir kita usaha jadi user. Jadi, akhirnya buka usaha warung, orangtua saya sudah pensiun, jadi mereka yang ngurusin. Ya, saya belajar user experience dari situ.
CEO kan biasanya sibuk, ada hobi atau kebiasaan yang dikorbankan?
Saya enggak ngerasa gitu, tapi saya juga enggak punya hobi yang makan waktu. Kalau masak ya sebisanya, kalau art ya sebisanya. Saya enggak cuma pelaku, tapi penikmat juga. Jadi, kalau karya seni kan enggak harus dilakukan, tapi karya seni bisa dinikmati.
Saya bisa dengerin lagu bagus kapan aja. Saya bisa lihat desain bagus di mana aja. Tapi kalau masak, saya cuma bisa masak kalau weekend (akhir pekan) aja. Masak buat keluarga. Saya suka ngulik resep baru. Kalau sebulan, dulu bisa ngulik resep baru berapa kali, sekarang sebulan paling ngulik resep sekali dua kali. Karena butuh waktu kan buat riset mau bikin apa, nyoba pakai bumbu apa. Butuh waktu.
Tato sendiri jadi kendala enggak untuk misal bertemu klien penting atau klien yang kurang suka dengan tato?
Saya enggak tahu sudut pandang orang lain, mungkin. Saya rasa kita ada di posisi di mana kita harus berlaku inklusif. Baik siapa pun ya. Itu passion yang saya praktikan juga. Dalam arti, ketemu dengan siapa pun, saya ya saya. Saya enggak mencoba menutup-nutupi.
Saya misal ketemu CEO mana pun, kadang tato ini malah jadi icebreaker: "Bikin di mana?" Banyak juga yang masih berpendapat tato itu premanisme dan lain-lain karena pada zamannya kita enggak bisa pungkiri. Tapi jujur untuk sekarang, ini enggak lebih dari sekadar pengingat. Enggak lebih dari apresiasi karya karena saya senang liat orang punya tato bagus.
Bisa dibilang hampir enggak ada (kendala) sih. Tapi kalau di pemerintah, beberapa kantor pemeritah kan punya dress code. Kalau ada dresscode, ya harus diikuti. Kalau enggak, ya saya setiap hari selalu pakai kemeja lengan pendek ketemu siapa pun. Baik itu ketemu orang kementerian sekali pun. Saya ke Kominfo juga pakai kemeja lengan pendek.
Tadi sering disebut tato itu pengingat, pengingat kejadian apa?
Contohnya, setiap milestone (kejadian penting) hidup saya. Misal saya ketemu istri saya, saya kebetulan dibaptis dewasa. Ada yang jadi pengingat. Di sini ada saint Michael, Mikail, pengingat ketika saya dibaptis. Ini pengingat ketika anak saya lahir karena anak saya kan lahir prematur.
Bisa dibilang istri saya melalui hal yang sulit banget. Bunda Maria kan melewati hal yang sulit juga. Jadi, ini pengingat bahwa di tangan kanan saya ada sosok ibu, meskipun bukan istri saya, tapi paling tidak apresiasi saya. Ini pengingat saya pernah ada di masa sulit. Akhirnya saya disadarkan sama ayat tersebut.
Contohnya kita menjalani prosedur ini kan challenge (tantangan) yang besar sekali, tapi kita cuma bisa usaha sebaik-baiknya, yang pada akhirnya ya kehendak-Nya, ya kehendak alam. Saya bisa punya pengalaman kerja di Tokopedia contohnya. Saya bisa ketemu orang dengan pengalaman kerja luar biasa, wisdom-nya luar biasa. Itu kan bukan kehendak kita. Saya ketemu orang Tokopedia beberapa kali, tapi saya bisa berakhir kerja di sana, ya itu kehendak alam.
Banyak sekali trigger (pemicu)-nya. Kalau saya enggak punya anak yang prematur, saya mungkin masih di Denpasar. Anak saya dulu lahir di Denpasar. Karena anak saya lahir prematur, mau enggak mau saya pindah ke Jakarta. Jadi, itu menurut saya kehendak alam.
Ada di industri ini bisa dibilang industri yang sangat stressful. Kita berhadapan dengan market (pasar) yang berubah setiap saat. Market enggak cuma dari sisi user, tapi dari sisi investor yang berubah setiap saat. Ya kegilaan itu pasti akan mengganggu produktivitas kita kan.
Itu jadi pengingat saya apa yang terjadi, ya terjadilah. Jadi, yang penting kita udah usaha 100 persen, asal kita jangan lupa bersyukur, berharap yang terbaik. Karena kan ada yang dibawa stres, ada yang sampai suicidal (bunuh diri), dan lain-lain.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Bernadinus Adi Pramudita
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: