Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mencermati Alasan Negara-negara Barat Merasakan Dampak Lebih Parah dari Virus Corona

Mencermati Alasan Negara-negara Barat Merasakan Dampak Lebih Parah dari Virus Corona Kredit Foto: Reuters/Remo Casilli
Warta Ekonomi, Jakarta -

Amerika Serikat, Italia, Spanyol, Perancis, dan Britania Raya telah mengambil alih posisi China dengan jumlah kasus dan angka kematian akibat virus corona tertinggi dunia. Hingga akhir pekan kemarin telah merengut nyawa lebih dari 100.000 orang di Eropa dan hampir 55.000 di Amerika Serikat.

 

 

Selain China, tidak ada lagi negara Asia yang menempati daftar 15 negara dengan kasus terbanyak, menurut catatan John Hopkins University.

Namun, beberapa pihak juga meragukan keakuratan data angka kematian di China, terutama sejak Pemerintah China merevisi angka kematian akibat COVID-19 di kota Wuhan sebesar kira-kira 50 persen, menjadi 3.869 orang pekan lalu.

Kebanyakan negara-negara Barat telah dianggap tidak mengantisipasi seberapa parah virus corona bisa menyerang mereka. Inilah beberapa alasannya.

1. Negara Barat tidak menduga akan ada krisis

Para ahli kesehatan mengatakan, cara sebuah negara dan penduduknya merespon pandemi dibentuk oleh beberapa faktor, yakni faktor budaya, bentuk pemerintahan, dan pengalaman sebelumnya.

China, Taiwan, dan Singapura telah berpengalaman berhadapan dengan SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome atau Penyakit Sistem Pernafasan Akut) pada tahun 2003, sementara Korea Selatan sudah pernah mengalami wabah MERS (Middle East Respiratory Syndrome) pada taun 2015.

Gary Slutkin, ahli epidemiologi asal Amerika Serikat dan mantan staf organisasi kesehatan dunia WHO mengatakan kepada ABC bahwa negara-negara di Asia sangat berorientasi dan belajar dari pengalaman, sehingga mereka telah mempersiapkan diri untuk merespon kemungkinan virus yang serius di masa mendatang.

Sebagai perbandingan, Dr Gary mengatakan, meskipun Amerika Serikat berpengalaman menangani kasus Ebola dan SARS, mereka belum pernah mengalami epidemi yang serius dalam beberapa tahun terakhir.

"Amerika Serikat telah terbiasa menyaksikan kejadian yang mengerikan di luar Amerika Serikat yang tidak berpengaruh langsung, baik itu perang atau wabah," kata Dr Gary.

"Ditambah jarak Amerika yang cukup jauh sehingga [Amerika] memandang dirinya lebih baik dan tidak terjangkau masalah-masalah tersebut."

Laporan New York Times awal bulan ini mengungkapkan jika Presiden AS Donald Trump juga menyia-nyiakan waktu yang berharga di bulan-bulan awal terjadinya wabah, dengan berulang kali meremehkan keparahan virus ketika beberapa pejabat pemerintah mulai memberikan peringatan.

Sebagai perbandingan, Ooi Eng Eong, seorang profesor penyakit menular dari National University of Singapore, mengatakan di Singapura upaya meredam wabah diberlakukan segera, setelah kasus pertama ditemukan dan dievaluasi secara berkala.

"Ketika pertama kali ada pemberitaan sesuatu terjadi di China, perencanaan segera dibuat, sehingga jika kasus yang sama menimpa Singapura kami sudah tahu bagaimana meresponnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: