Memasuki triwulan III 2020, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terus memperkuat koordinasi kebijakan di antara anggota KSSK dengan meningkatkan kewaspadaan mengantipasi dampak penyebaran Covid-19 yang masih tinggi terhadap prospek perekonomian domestik dan stabilitas sistem keuangan.
Dalam kaitan ini, koordinasi dilakukan baik untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional dengan mendorong implementasi kebijakan extraordinary yang diamanatkan melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 maupun untuk menjaga stabilitas sistem keuangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, dari sisi pengelolaan fiskal, pemerintah meningkatkan kapasitas fiskal dalam rangka penanganan Covid-19 dengan memperlebar defisit APBN 2020 sebagai strategi countercylical, dari semula 1,76 persen terhadap PDB menjadi 5,07 persen (Perpres 54 Tahun 2020) dan 6,34 persen (Perpres 72 Tahun 2020).
Baca Juga: KSSK Sebut Stabilitas Sistem Keuangan Triwulan II Normal, tapi...
"Melalui pelebaran defisit tersebut, pemerintah mengalokasikan biaya penanganan Covid-19 sebesar Rp695,20 triliun yang ditujukan untuk (i) peningkatan belanja untuk kesehatan; (ii) pengeluaran untuk program-program perlindungan sosial; dan (iii) pemulihan perekonomian melalui dukungan kepada dunia usaha," ujar Sri Mulyani di Jakarta, kemarin.
Melalui alokasi tersebut, lanjut dia, pemerintah berupaya mengakselerasi penanganan Covid-19 dari sisi kesehatan sehingga diharapkan dapat mencegah makin meluasnya Covid-19 di Indonesia. Berbagai program perlindungan sosial, baik yang bersifat perluasan dari program existing maupun program-program baru, ditujukan sebagai stimulus bagi masyarakat miskin dan rentan sekaligus mencegah dari risiko kemunduran sosial-ekonomi yang lebih lebih dalam.
"Sementara itu, stimulus bagi dunia usaha melalui Program PEN ditujukan untuk melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan keberlangsungan pelaku usaha di masa pandemi Covid-19, serta menyediakan jump start untuk mengakselerasi pemulihan dunia usaha," ungkapnya.
Dari sisi moneter, lanjut Gubernur BI Perry Warjiyo, pihaknya kembali menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) sebesar 25 bps menjadi 4,00 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 3,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 4,75 persen pada bulan Juli 2020.
"Keputusan ini konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga, dan sebagai langkah lanjutan untuk mendorong pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19," ucap Perry.
Selain itu, BI juga memperkuat bauran kebijakan dengan (i) melanjutkan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai nilai fundamental dan mekanisme pasar; (ii) mendorong pemulihan ekonomi nasional dengan lebih menekankan pada penguatan sinergi ekspansi moneter dengan akselerasi stimulus fiskal pemerintah.
"Dalam kaitan ini, BI berkomitmen untuk melakukan pendanaan atas APBN 2020 melalui pembelian SBN di pasar perdana secara terukur, baik melalui mekanisme pasar maupun secara langsung sebagai dukungan terhadap upaya untuk menutup biaya kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral K/L dan pemerintah daerah guna mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)," jelasnya.
BI juga berbagi beban dengan pemerintah untuk mempercepat pemulihan UMKM dan korporasi; (iii) memperkuat koordinasi langkah-langkah kebijakan dengan Pemerintah dan KSSK untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan termasuk penyediaan pendanaan bagi LPS melalui mekanisme repo dan/atau pembelian SBN yang dimiliki LPS sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2020; dan (iv) mempercepat digitalisasi sistem pembayaran untuk percepatan implementasi ekonomi dan keuangan digital sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi melalui kolaborasi antara bank dan fintech untuk memperluas akses UMKM dan masyarakat kepada layanan ekonomi dan keuangan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Puri Mei Setyaningrum