Pengusaha pun bisa menyokong agar roda perekonomian tetap berputar dengan berupaya mengurangi terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK, diakuinya, merupakan PR bersama. Termasuk para organisasi buruh agar tidak melakukan tuntutan-tuntutan yang tidak rasional, sedangkan situasi sedang tak karuan.
"Kalau bisa jangan sampai ada PHK. Misalnya masalah upah buruh harus dinegosiasi ulang supaya tidak ada kenaikan, itu boleh dibahas."
Berikutnya, perusahaan-perusahaan sudah saatnya memberikan pembekalan kepada tenaga kerjanya tentang kewirausahaan supaya bisa siap menghadapi kemungkinan yang terburuk.
Di balik bahaya krisis, pengusaha harus menyiasati peluang apa saja yang bisa dimainkan. Contoh, menurut Jahja, selama ini Indonesia hampir selalu mengekspor produk-produk yang nilai tambahnya tidak ada atau rendah. Ini saatnya Indonesia berubah, mempercepat industri agro, supaya menaikkan kelasnya menjadi industri yang menghasilkan nilai tambah terhadap produknya.
"Jangan mengekspor yang mentah lagi, tetapi mulai mengolah industri agro yang bernilai tambah. Kemudian industri yang dikonsumi lokal dulu, regional, akhirnya juga untuk memenuhi kebutuhan pasar global," bebernya.
Pengusaha, termasuk UMKM, dianjurkannya supaya melakukan percepatan, penyesuaian, dan bersikap adaptif terhadap perubahan yang terjadi. Krisis harus dimanfaatkan untuk memaksa diri melakukan transformasi, termasuk transformasi ke arah digital.
"Krisis sudah pasti ada. Inilah peluang kita untuk melakukan transformasi secara radikal dalam perekonomian dan industri kita. Sebenarnya the new normal adalah tuntutan untuk the new mindset, akhirnya kita punya the new strategy, the new approach. Dari situ kita akan membuka diri untuk survive."
Hampir senada dengan Jahja, Bhima menyarankan pebisnis untuk memperluas penetrasi di pasar digital. Dari laporan BPS, pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi naik 10,8%, bahkan lebih tinggi dari kuartal sebelumnya di angka 9,8%.
Kata Bhima, "ini kan menunjukkan di saat pandemi sektor digital justru demand-nya naik. Maka peluang bisnis e-commerce, digital marketing, artificial inteligence makin dibutuhkan masyarakat."
Di samping itu, lanjutnya, pengusaha harus melihat peluang ekspor di negara yang paling cepat mengalami recovery. Misalnya China yang tumbuh minus 6,8% pada kuartal I-2020, tapi rebound di kuartal II sebesar 3,2%. "Artinya permintaan ekspor di China pasti naik dan butuh produk dari Indonesia. Asalkan daya saing terus dinaikkan."
Pesan terakhir, Jahja mengingatkan, "jangan mengeluh, jangan menunggu pandemi ini selesai, jangan diam. Di balik bahaya selalu ada peluang. Jika tidak ada peluang, ciptakan peluang. Itulah pengusaha sejati."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: