Sektor pertanian turut terkena dampak dari pandemi Covid-19, terutama para petani yang pendapatannya menurun. Selama ini, tren produksi pertanian terus menurun, misalnya saja beras. Tren produksi komoditas lain yang diunggulkan untuk ekspor, seperti biji cokelat dan kopi, juga menurun. Untuk menjaga dan meningkatkan kinerja sektor pertanian, upaya untuk mendorong masuknya investasi di sektor ini masih perlu ditingkatkan.
Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Ann Amanta, mengatakan bahwa pandemi memang memukul kinerja sektor pertanian, termasuk petani. Salah satu dampaknya ke petani adalah nilai tukar petani (NTP) yang fluktuatif, tapi cenderung menurun.
Baca Juga: Launching TSP Jeruk, Mentan: Kita Siapkan Pertanian, Yuk!
Nilai tukar petani merujuk ke indeks harga yang diterima petani dibanding harga yang dibayar. NTP
Tanpa adanya pandemi pun, sektor pertanian Indonesia memang sudah dihadapkan pada beberapa tantangan, misalnya saja keterbatasan lahan, petani (makin menua, minimnya penguasaan teknologi, dan modal), dan perubahan iklim. Upaya pemerintah untuk melakukan langkah ekstensifikasi lewat food estate memang patut diapresiasi. Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah populasi, lahan yang tersedia tidak akan mencukupi kebutuhan.
Namun, potensi meningkatkan kinerja sektor ini dapat terus diupayakan, salah satunya lewat investasi. Data BPS 2020 menunjukkan bahwa sektor ini merupakan satu-satunya sektor yang mengalami pertumbuhan positif di antara lima sektor terbesar di Indonesia, yaitu industri (-6,19%), perdagangan (-7,57%), konstruksi (-5,39%), dan pertambangan (-2,72%). Pertumbuhan positif ini merupakan capaian yang bagus di saat pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi -5,3% di triwulan II tahun ini. Sektor pertanian sendiri menunjukkan pertumbuhan 2,19% y-o-y (tahun-ke-tahun).
Selain itu, data BPS 2020 juga menunjukkan sektor pertanian berkontribusi sebesar 15,46% kepada struktur pertumbuhan PDB Indonesia di triwulan II di 2020. Nilai kontribusi ini meningkat dari periode yang sama di tahun sebelumnya, yaitu sebesar 13,57%.
"Pertumbuhan positif sektor pertanian di masa pandemi tentu memberikan harapan akan kelangsungan produksi pangan di Tanah Air. Namun, dengan berbagai faktor yang ada saat ini, sangat berat bagi Indonesia untuk mengembangkan sektor pertanian, termasuk bagaimana memberdayakan petani sebagai penopang utama sektor ini," ungkap Felippa dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (25/8/2020).
Investasi di sektor pertanian masih terbilang minim. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, jumlah total investasi pertanian di 2018 adalah Rp54,1 triliun. Sementara itu, jumlah ini bertambah menjadi Rp57 triliun di tahun berikutnya. Sementara itu, investasi asing di sektor pertanian hanya 3% dari total investasi asing yang masuk ke Indonesia. Total investasi yang masuk pada 2019 adalah sebesar US$27.095,1 juta.
Padahal, masuknya investasi, lanjut Felippa, dapat membantu membentuk sektor pertanian yang resilien dan berkelanjutan melalui pendanaan riset dan pengembangan, teknologi, maupun pengembangan kapasitas sumber daya masyarakat. Sayangnya, peraturan yang berlaku selama ini dinilai tidak ramah terhadap masuknya investasi di sektor pertanian, salah satunya di subsektor hortikultura.
UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura di Pasal 33 membatasi penggunaan sarana hortikultura dari luar negeri dan mensyaratkan keharusan untuk mengutamakan sarana yang mengandung komponen hasil produksi dalam negeri. Pasal 100 di Undang-Undang yang sama pun membatasi penanaman modal asing hanya untuk usaha besar hortikultura dengan jumlah modal paling besar 30%. Penanam modal asing juga wajib menempatkan dana di bank dalam negeri sebesar kepemilikan modalnya.
"Selain itu, proses perizinan usaha juga rumit. Investor harus mengantongi izin, mulai dari rekomendasi dinas di pemda setempat, hingga Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Isu kepemilikan lahan juga terus menjadi isu yang membuat investor khawatir untuk menanam modal di Indonesia," jelas Felippa.
Selain regulasi yang rumit, kecermatan dalam menentukan prioritas investasi juga masih perlu ditingkatkan. Alokasi modal paling besar masih mengalir ke irigasi. Alokasi modal untuk irigasi memang berguna, tetapi alokasi ke irigasi kurang efektif karena ini masih mengacu ke sistem pertanian konvensional.
Belakangan, alokasi modal mulai mengalami peningkatan ke penyimpanan dan infrastruktur pertanian. Sementara itu, investasi ke riset dan pengembangan untuk inovasi agrikultur dan pengembangan pengetahuan agrikultur masih minim. Padahal, dua hal ini yang dibutuhkan untuk memodernisasi pertanian.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum